Narasi

Terapi Al-Qur’an Mengobati Penyakit Kronis Intoleransi

Kala kita kritisi, apa yang melatarbelakangi perilaku pencopotan label Gereja Reformed dalam tenda bantuan gempa bumi Cianjur itu? Mengapa bantuan dari non-muslim dituduh kristenisasi? Saya rasa, ini adalah fakta penyakit kronis intolerant yang mampu menghilangkan akal-sehat, rasa iba dan matinya rasa kemanusiaannya seseorang di tengah duka akibat bencana.

Tentu, perilaku yang demikian sama-sekali tidak berdasar pada  nilai Al-Qur’an. Al-Qur’an pada dasarnya adalah kebenaran Tuhan yang mampu membawa jalan rahmat dan maslahat serta kebaikan. Dari sinilah pentingnya terapi Al-Qur’an untuk mengobati penyakit kronis intolerant yang membatu dalam diri.

Ada banyak dalil Al-Qur’an yang akan (menyadarkan/menyembuhkan) kita. Bahwa, perilaku diskriminatif, memusuhi dan penuh kebencian terhadap mereka yang berbeda agama sejatinya merupakan perilaku yang perlu kita hilangkan.

Cobalah kita pahami kebenaran (QS. Al-Mumtahanah:8) bahwasanya: “Allah SWT tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku (Adil)”.

Ayat di atas pada dasarnya mengacu ke dalam wilayah etis agama yang sifatnya (terbuka) terhadap umat agama lain. Ini adalah prinsip dalam hubungan sosial-kemanusiaan/kebangsaan yang tidak boleh kita hilangkan. Kita diberi pijakan teologis untuk selalu berbuat baik dan berlaku adil, maka segala perkara etis yang demikian sejatinya akan meniscayakan semacam “hukum timbal balik” di dalamnya.

Pijakan teologis yang demikian adalah akar dari sebuah alasan mengapa kita harus berbuat baik dan menjaga hubungan baik tanpa memilah agamanya apa dan tentu korelasi kebaikan itu juga akan kembali kepada kita untuk saling membantu, tolong-menolong dalam kebaikan dan kokoh dalam keharmonisan.

Bahkan, potongan ayat di atas juga dikuatkan dalam (QS. Al-Mumtahanah:9). Bahwa peradaban kita tampaknya lebih gemilang dan ayat Al-Qur’an di atas sebetulnya berbicara (konteks kita) hari ini yang tidak dalam situasi-kondisi peperangan, penuh keamanan, kedamaian dan kenyamanan. Kita adalah kebenaran di balik perintah teologis untuk selalu berbuat baik dan berlaku adil terhadap siapa-pun. Kebencian bukanlah hal yang kokoh dan bersandar terhadap nilai teologis.

Kenyataan di atas pada dasarnya dikuatkan dalam potongan (QS. Al-Baqarah: 213) bahwasanya: “Manusia itu dahulunya satu umat. Lalu Allah SWT mengutus para Nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi kitab, setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena (kedengkian di antara mereka sendiri). Maka dengan kehendak-Nya Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”.

Bahwa segala bentuk penolakan untuk bersaudara, penuh kebencian, menolak bantuan dari mereka yang non-muslim dan menolak untuk hidup harmonis pada dasarnya tidak berpijak ke dalam akar teologis. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam potongan ayat di atas bahwa ini adalah tentang (kedengkian di antara mereka sendiri) sehingga memunculkan sikap intolerant yang semacam itu.

Cobalah kita pahami potongan (QS. An-Nisa’:86) bahwasanya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah SWT memperhitungkan segala sesuatu”.

Ini adalah hukum (kebaikan) dan bagaimana pijakan teologis di dalam Islam selalu merujuk ke dalam prinsip (hukum timbal balik). Kenyataan teologis yang demikian pada dasarnya sangatlah bertentangan dengan perilaku yang intolerant seperti enggan untuk bersaudara, untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan bahkan tidak (menghormati) segala bentuk kebaikan yang diberikan oleh saudara kita yang berbeda keyakinan, misalnya.

Dari beberapa ayat di atas sejatinya telah membuktikan bahwa kebenaran Al-Qur’an jika kita pahami, dalami dan semakin luas kita mempelajari nilai-nilai Al-Qur’an. Niscaya ini akan menjadi terapi bagi kita untuk mengobati penyakit kronis intolerant dalam diri kita. Sebab, ada begitu banyak kebenaran Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk saling membantu, saling tolong-menolong, menjaga martabat kemanusiaan dan pentingnya hidup harmonis tanpa konflik berdarah.

This post was last modified on 8 Desember 2022 10:19 AM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago