Sejak dulu Indonesia dikenal sebagai Negara yang majemuk. Tidak terbayangkan keragaman yang dimiliki bangsa ini dalam berbagai aspek sosial, kultural dan gegografis. Namun, perbedaan di negeri ini menjadi sebuah anugerah melalui pedoman yang sakti “Bhineka Tunggal Ika”. Negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, ras, suku dan agama hidup rukun dan harmonis dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sayangnya, akhir-akhir ini banyak kasus yang mencoba menciderai kerukunan dan perdamaian dengan sentiment rasial dan sikap intoleran. Sikap seperti ini bukan tidak mungkin akan menjurus pada konflik horizontal. Tidak bisa dilupakan bagaimana bangsa ini juga pernah menelan tragedi kemanusiaan melalui konflik yang bernuansakan SARA.
Karena itulah, sejatinya konflik horizontal dengan dimensi SARA diawali dengan benih pemikiran rasisme dan intoleransi. Tentu saja kita tidak memungkiri adanya motif sosial politik dan ekonomi dalam panggung kekerasan SARA. Namun, sikap rasisme dan intoleransi menjadi bibit awal sekaligus faktor yang mengeskalasi ledakan konflik.
Penting sekali masyarakat untuk menghindari sikap rasis dan intoleran. Konflik horizontal tidak akan terjadi ketika masyarakat teguh dan kokoh dalam memiliki sikap saling menghormati orang lain tanpa memandang suku, agama maupun ras seseorang. Dengan begitu kita bisa mengatakan tidak ada ruang bagi rasisme dan intoleransi untuk tumbuh subur di neger ini.
Rasisme dan intoleransi sebenarnya muncul dari perasaan antipati terhadap perbedaan dan primordialisme yang tinggi. Latarbelakang yang dimiliki dianggap lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. perasaan “lebih” dapat menjadi penyakit pikiran yang bisa memandang rendah dan mendiskreditkan yang lain yang berbeda.
Sikap toleransi dan anti rasisime harus ditanamkan sejak dini dengan menanamkan semboyan Bhineka Tunggal Ika di bangku-bangku sekolah dan penanaman secara langsung seperti sikap saling menghormati teman atau guru yang berbeda agama, ras dan suku yang ada di sekolah dan lingkungan sosial. Memiliki sikap toleran merupakan suatu kunci pencegahan dari kasus-kasus yang berhubungan dengan rasisme.
Toleransi yang tinggi akan melahirkan sikap simpati dan empati. Rasa simpati akan mengikis kecurigaan dan pra sangka buruk terhadap yang berbeda. Sementara empati akan mampu menumbuhkan rasa sensitivitas seseorang, sehingga individu memiliki toleransi lebih akurat dalam menilai kepribadian orang lain. Pemikiran yang mampu menilai perasaan seseorang inilah yang nantinya akan memahami isyarat dan akan mampu menghindari ketidaknyamanan.
Perbedaan harus dipahami sebagai rahmat dan anugerah. Dan terpenting perbedaan adalah sunnatullah yang harus terus dipelihara. Dalam konteks ini, mereka yang bertindak rasis dan intoleran sejatinya bukan umat beragama yang baik. Mereka tidak menyadari perbedaan sebagai bagian dari rekayasa Tuhan untuk manusia agar saling menghormati satu sama lain.
Indonesia merupakan laboratorium keragaman. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bisa menjadi model terbaik dalam penghargaan terhadap perbeadan. Dapat dipahami bahwa, prinsip Bhineka Tunggal Ika mampu menjadi nilai dan norma yang sangat kuat di tengah keragaman bangsa hingga detik ini.
Karena itulah, menjadi berbangga dengan bangsa ini yang telah mampu mengelola perbedaan dengan sangat baik. Dan yakinkan tidak ada ruang sedikitpun bagi sikap dan tindakan rasis dan intoleran untuk menjaga harmoni keragaman bangsa ini.
This post was last modified on 4 Februari 2021 12:21 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…