Narasi

Titik-Temu Toleransi dalam Keheningan dan Rasa Lapar

Pada 11 Maret 2024, umat Hindu Bali tengah melaksanakan Hari Raya Nyepi. Di hari setelahnya, pada 12 Maret 2024, umat Islam akan menyambut bulan suci Ramadhan.

Jika kita pahami secara subtansial. Antara keheningan (Nyepi) dengan menahan rasa lapar (Puasa Ramadhan) pada dasarnya memiliki titik-temu kesadaran toleransi yang begitu kuat di dalamnya.

Dalam konteks nyepi, umat Hindu mengheningkan diri yang berarti menghentikan segala aktivitas yang duniawi. Berdiam diri di rumah dan berdoa.

Secara subtansial, manusia pada dasarnya butuh yang namanya perenungan-perenungan. Terciptanya suasana Nyepi, yakni sepi dari hiruk-pikuk diri yang penuh hawa nafsu, ego diri dan segala keserakahan.

Keheningan (nyepi) berupaya menyucikan diri dari segala angkara-murka terhadap alam semesta (Bhuana Agung). Serta menyucikan diri dari keburukan dalam kehidupan sosial-manusia (Bhuana Alit) yang kerap dipenuhi dengan keangkuhan.

Dalam konteks Ramadhan, umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa. Menahan rasa lapar dan haus. Ini juga berkaitan dengan perenungan-perenungan untuk melahirkan kepekaan secara sosial.

Menahan rasa lapar dan haus adalah simbol bagaimana umat manusia harus dapat menahan segala hawa nafsu dan perilaku buruk. Umat Islam dituntut untuk meninggalkan segala hasrat diri dan ini adalah eksistensi diri dalam membangun jati-diri yang bersih ke dalam (fitrah) manusia yang suci, yakni manusia yang membersihkan dirinya dari segala keburukan.

Rasa lapar umat Islam dalam puasa tak sekadar mengajarkan bagaimana relasi transendental yang baik. Tetapi meratapi bagaimana kesadaran sosial yang ada bisa terbangun dengan baik.

Jadi, secara korelatif, ada titik-temu bagaimana toleransi itu dapat dibangun. Antara semangat keheningan (nyepi) dan semangat menahan rasa lapar (puasa Ramadhan) pada dasarnya memiliki nilai substansi yang sama meskipun berbeda secara tata-etika spiritual. Toleransi yang dimaksud mengacu pada prinsip semangat berlomba dalam kebaikan. Dalam arti pemahaman, kita bersama membangun semangat nilai di dalam dua tradisi tersebut sebagai bagian dari kontribusi bagi kemanusiaan, tatanan sosial yang damai. Sehingga kita akan cenderung lebih mudah di dalam merepresentasikan toleransi dalam beragama.

This post was last modified on 11 Maret 2024 6:11 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

7 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

7 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

7 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

8 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago