Narasi

Tugas Utama Manusia Membangun Bumi dan Menciptakan Perdamaian

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai puncak ciptaan yang paling sempurna. Manusia oleh Allah diberkahi akal untuk berpikir mana yang baik dan buruk, serta diberkahi hawa nafsu. Hawa nafsu berfungsi sebagai ujian manusia, siapa yang bisa mengalahkannya, maka ia menjadi manusia sempurna. Tetapi sebaliknya siapa yang dikendalikan hawa nafsu, maka ia menjadi manusia yang paling rendah (asfala safilin).

Tugas utama kekhalifahan manusia ialah membangun bumi sebaik mungkin, karena kita sudah diberi oleh Allah segala fasilitas yang lengkap. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-An’am (6): 165.

Karena itu, tugas para nabi sebagai pengajar kebenaran universal ialah membangun (ishlah) kehidupan layak di muka bumi, suatu bentuk kehidupan yang diridhai oleh Allah, sebagai kelanjutan dari tugas kemanusiaan yang paling puncak, hal ini tertera dalam surat Hud (11): 88. Ketika itu nabi Hud berkata kepada kaumnya,” Aku tidak menghendaki sesuatu, kecuali membangun (ishlah) membarui sedapat-dapatku”. Maka salah satu kejahatan yang terbesar ialah ulah manusia yang membuat kerusakan di bumi, setelah itu bumi dibangun. Seperti dalam surat al-A’raf (7): 56 dan al-Anbiya’ (21): 105.

Dengan begitu sudah sangat jelas bahwa kita hidup di dunia ini harus terus mengelola bumi secara serius. Mengelola sumber daya alam, meningkatkan kapasitas manusia, dengan begitu misi profetik kekhalifahan akan terbayar dengan tuntas. Tetapi apabila kita malah merusak, semisal membuat kerusakan di bumi ini, semisal eksploitasi alam dengan liar, suka menebar kebencian, bahkan nafsu menebar teror, justru kedamaian akan terkoyak di bumi pertiwi ini.

Membangun Bumi, Menebar Perdamaian, Bukan Merusak

Dalam surat al-A’raf (7) : 172, ayat ini menjelaskan tentang perjanjian primordial antara Tuhan dengan manusia, serta menegaskan bahwa kemampuan manusia mengenal adanya Tuhan merupakan bakat alamiah yang tertanam dalam fitrah. Inilah awal manusia merindu akan kebenaran, kedamaian semesta dan kebahagiaan hidup yang azali.

Tetapi juga sebaliknya, manusia akan kehilangan kedamaian jika suka berbuat kejahatan (al-fahsya’), kekejian (al-munkar), dan kepalsuan (al-bathil). Semua itu perbuatan dosa yang bisa merendahkan harkat martabat manusia. Karena ketika orang berbuat dosa seperti di atas sangat berlawanan dengan fitrah azalinya. Perbuatan dosa itu sangat merugikan diri sendiri (zhulm al-nafs, menganiaya diri sendiri). Itu semua tertera dengan jelas dalam al-Baqarah ayat 57, Fushshilat ayat 46, serta al-An’am ayat 82.

Maka dalam kehidupan ini kita dihadapkan oleh dua pilihan hidup. Pertama, jalan hidup yang benar, inilah jalan yang akan meninggikan nilai kemanusiaan, karena amal shaleh. Kedua, jalan hidup tanpa iman, dan tanpa amal sholeh, inilah yang akan menjerumuskan manusia dalam lembah kehinaan (asfala safilin). (at-Tin ayat 4-6).

Mulai sekarang kita harus serius dalam mendalami nilai-nilai agama, dengan begitu kita bisa mengambil api Islam, bukan abunya, begitu ungkapan Bung Karno. Sangat tepat karena hanya api Islam yang mampu menjadi sinar dalam kegelapan dan mampu memberikan manfaat terhadap manusia, kalau abu tentu hanya sisa dan kurang berguna.

Kalau kita refleksikan seperti kondisi bangsa sekarang ini, banyak hate speech, dan teror sungguh itu semua merupakan ulah manusia yang sudah melenceng jauh dari fitrah azalinya. Manusia sudah dikendalikan hawa nafsunya, otomatis kehancuran akan terus terjadi dalam semua lini.

Makanya kita sebagai pemuda harus mempunya resolusi menjelang pergantian tahun ini. Yakni resolusi kesatuan tekad untuk menjalankan tugas kekhalifahan manusia untuk membangun bumi, yakni membangun negeri tercinta ini dengan kerja yang produktif. Serta mewujudkan perdamaian semesta, dan melawan segala bentuk upaya kejahatan yang ingin merongrong NKRI. Wallahu a’lam.

Lukman Hakim

Penulis adalah Peneliti di Sakha Foundation, dan aktif di gerakan perdamaian lintas agama Yogyakarta serta Duta Damai Yogya.

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

8 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

9 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

10 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

1 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

1 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

1 hari ago