Narasi

Urgensitas Sila Keempat dalam Implementasi Kebebasan Berpendapat

Semua tahu, bahwa negara kita mengamini penerapan sistem demokrasi. Sistem yang dalam setiap pembuatan kebijakannya, mengutamakan musyawarah mufakat. Hal ini bukan semata untuk membuat kebijakan yang tidak tumpang tindih atau berat sebelah, namun, lebih dari itu, sebagai proses bersama-sama bahwa semua elemen bangsa Indonesia adalah sejajar-sederajat dan memiliki hak yang sama untuk ikut andil dalam menentukan nasib negara ke depannya.

Olah karena itu, hadirnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, menjadi manifestasi kesetaraan bahwa tiada suatu golongan pun yang dibeda-bedakan. Setiap pemeluk agama, suku, ras, atau suatu kelompok, berhak mendapatkan hak-hak semestinya dari negara. Begitupun sebaliknya, negara juga menuntut haknya kepada segenap elemen bangsa, tanpa berat sebelah. Jika seperti itu, maka keseimbangan demokrasi bisa tercapai, yakni antara hak dan kewajiban sama-sama dijalankan.

Sejatinya, kemajuan demokrasi bisa diukur dari keaktifan rakyatnya dalam ikut andil bersuara terhadap suatu kebijakan yang akan dibuat. Hal ini, sudah terjawab secara penuh dalam Pancasila, tepatnya di sila keempat. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”. Sila ini mewakili semangat demokrasi, yang kemudian menjadi dasar dalam pembuatan undang-undang terkait keterlibatan publik dalam kebijakan negara, sekaligus sebagai undang-undang yang menjamin kebebasan hak berpendapatnya.

Di antara pengaplikasian sila keempat yang bisa dilakukan oleh warga negara ialah seperti terlibat aktif dalam mengawasi dan memberikan saran atau pendapat kepada penyelenggara negara yang berwenang; ikut dalam prosesi pemilu dengan menjadi kandidat calon dan atau turut memberikan suara kepada calon yang dipilih; mengutamakan pengambilan keputusan secara musyawarah dalam setiap menyelesaikan permasalahan; menghormati hasil musyawarah sekalipun bertentangan dengan pendapat yang diyakini; tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain agar menyetujui ataupun menolak suatu pendapat.

Namun, yang masih menjadi keresahan, apakah rakyat kita sudah menjalankan hak-hak bersuara semestinya? Apakah mereka juga mau terlibat aktif dalam penyelenggaraan negara? Atau, jangan-jangan mereka malah mencederai hak-hak bersuaranya?

Di era yang setiap rakyat kita, bisa dengan mudah pegang smartphone sehingga arus komunikasi dan informasi bisa cepat, mudah dan murah, malah kerap kali mereka gunakan untuk hal-hal yang berbau negatif. Beragam platform media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Facebook, ataupun Twitter, menjadi ladang mereka untuk menjelek-jelekkan orang. Bahkan, lambang sakral negara kita, juga tak luput dari hinaan anak bangsanya. Sungguh, miris memang. Lalu, apakah sila keempat yang menjamin kebebasan berpendapat ini, akan bertekuk lutut di hadapan mereka yang tidak menggunakan hak berpendapat secara semestinya?

UU ITE menjadi jawabannya. Undang-undang ini, merupakan undang-undang turunan yang secara garis besar berisi pasal-pasal yang mengatur regulasi berpendapat ataupun informasi serta perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam menggunakan media sosial. Seseorang tidak lagi seenaknya semisal menjelek-jelekkan nama orang atau instansi suatu lembaga. Selain itu, menyebarkan informasi hoaks atau propaganda yang akan menimbulkan keriuhan masyarakat, juga akan ditindak tegas. Dengan adanya UU ITE, masyarakat benar-benar dididik untuk tidak sembarang dan juga berhati-hati dalam menggunakan media komunikasi pintar ini.            

Lalu, jika ada pertanyaan, bukankah dengan adanya UU ITE telah membatasi hak demokrasi warga negara? Pertanyaan seperti ini, ibarat mengharapkan bunga di pot tetap hidup, tapi tidak mau menyiramnya dengan air. Fatal bukan? Justru, dengan adanya undang-undang ini, semacam menjadi garis hukum agar semua penggunanya merasa aman dan nyaman. Seseorang yang berbuat cyber crime pantas mendapat ganjaran. Seseorang yang menjadi korban dari cyber crime berhak mendapat perlindungan hukum.

This post was last modified on 18 Februari 2021 2:00 PM

Slamet Makhsun

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

4 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

4 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

6 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

6 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago