Narasi

DNA Aktivisme Gen Z: Mengelola Genetik Perubahan Anak Muda

Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, hingga Indonesia, demonstrasi besar yang digerakkan anak muda menjadi fenomena yang tak bisa diabaikan. Kebencian terhadap nepotisme politik, kegelisahan akibat ekonomi yang kian menekan, hingga kemarahan atas gaya hidup elite yang hedonis menjadi pemicu munculnya perlawanan.

Fenomena ini menunjukkan pola universal yang mencerminkan “DNA aktivisme” generasi Z. Ada beberapa ciri yang dapat dikenali. Setidaknya ada beberapa ciri untuk melihat aktivisme Gen Z tersebut. 

Pertama, media sosial menjadi instrumen utama mobilisasi. Platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, hingga Telegram menjadi ruang publik virtual di mana narasi alternatif dibangun dan aksi perlawanan dikoordinasikan. Gen Z memanfaatkan kekuatan digital untuk mengimbangi narasi elite politik dan media arus utama.

Kedua, generasi ini konsisten menolak dinasti politik. Mereka menuntut sistem berbasis merit, bukan dominasi keluarga politik. Bagi Gen Z, pamer kekayaan dan gaya hidup elite yang berbanding terbalik dengan penderitaan rakyat adalah bentuk penghinaan.

Ketiga, mereka menolak otoritarianisme. Gerakan anak muda ini menuntut demokrasi yang lebih terbuka, akuntabel, dan memberi ruang partisipasi politik yang nyata.

Keempat, kreativitas menjadi ciri khas. Meme, seni jalanan, hingga simbol-simbol budaya populer digunakan sebagai medium perlawanan. Bendera One Piece yang sempat muncul di aksi-aksi protes di Nepal maupun Indonesia adalah contoh bagaimana budaya pop disulap menjadi bahasa politik.

Kelima, pola gerakan Gen Z cenderung tanpa hierarki. Berbeda dari organisasi politik tradisional, struktur mereka lebih horizontal dan desentralistik, sehingga sulit dipetakan dan dikendalikan.

Belajar dari Arab Spring : Strategi 

Meski terlihat menjanjikan, pengalaman Arab Spring menjadi pengingat bahwa gerakan politik anak muda penuh risiko. Meskipun berhasil menggulingkan rezim otoriter, banyak negara gagal mengelola transisi. Tunisia kini menghadapi kemunduran demokrasi, Mesir jatuh pada rezim militer, sementara Libya, Suriah, dan Yaman terjerumus dalam konflik berkepanjangan. Akar persoalan utamanya: ketiadaan institusi demokrasi yang kuat dan dipercaya masyarakat.

Dari pengalaman itu, ada beberapa strategi agar DNA aktivisme Gen Z di Asia, termasuk Indonesia, bisa menghasilkan perubahan yang konstruktif. Pertama, Membangun institusi inklusif untuk Gen Z. Aspirasi politik anak muda harus disalurkan lewat mekanisme resmi seperti youth parliamentcitizen assembly, atau forum konsultasi publik. Generasi muda tidak boleh sekadar diperlakukan sebagai lumbung suara elektoral setiap lima tahun, tetapi dilibatkan sejak awal dalam proses pembuatan kebijakan.

Kedua, menguatkan pendidikan politik (Civic Literacy). Reformasi pendidikan perlu menghadirkan civic education yang komprehensif: bukan hanya tentang hak, tetapi juga kewajiban demokratis. Literasi politik, literasi media, hingga resolusi konflik harus menjadi bagian kurikulum. Partai politik pun dituntut serius melakukan kaderisasi, bukan sekadar hadir musiman saat kampanye.

Ketiga, strategi pemberdayaan ekonomi untuk Gen Z. Frustrasi sosial generasi muda kerap dipicu kesenjangan ekonomi dan sulitnya akses modal. Di Indonesia, Kementerian Pemuda seharusnya direformasi menjadi lembaga yang fokus pada pembangunan kapasitas generasi muda, bukan sekadar olahraga. Dukungan untuk capacity building dan akses ekonomi harus diperluas agar anak muda memiliki ruang berkembang.

Kegagalan Arab Spring memberi pelajaran penting: revolusi tanpa kesiapan institusi akan berujung pada instabilitas. Karena itu, mengelola gerakan anak muda bukan hanya soal mengendalikan demonstrasi, tetapi menyediakan saluran partisipasi, pendidikan politik, dan kesempatan ekonomi.

Gen Z adalah generasi digital yang membawa DNA perubahan. Tantangannya bagi sistem politik hari ini adalah apakah mampu beradaptasi dengan energi dan aspirasi mereka. Aktivisme anak muda bukan sekadar tentang protes jalanan, tetapi peluang untuk melahirkan transformasi fundamental dalam cara masyarakat mengorganisasi diri di era digital.

 

This post was last modified on 16 September 2025 1:36 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

5 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

5 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

5 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

5 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

5 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

6 hari ago