“Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.” Begitulah cuitan Presiden Joko Widodo di akun Twitter pada 16 Februari lalu.
Media maya merupakan dunia baru dalam berkomunikasi. Dengannya menjadikan sekat-sekat lisan dan penglihatan semakin tiada artinya. Dengan media maya, kabar di belahan bumi manapun dapat ditangkap oleh masyarakat di belahan bumi yang lain hanya dengan hitungan detik. Di samping itu, media maya juga menjadi ajang pengungkapan perbedaan pendapat yang sering kali berdampak positif dan negatif. Kritik dan saran kepada orang atau kelompok lain menggunakan media maya merupakan upaya yang termasuk positif. Sementara, hoax dan provokasi untuk melakukan tindak kejahatan merupakan langkah-langkah negatif dalam bermedia maya.
Dalam rangka ihtiyar kesehatan dalam bermedia maya, pemerintah menerbitkan UU ITE sehingga apabila ada kejahatan yang ada di dunia maya bisa dikenai sanksi sesuai dengan atauran yang berlaku. Kendati demikian, UU ITE juga ternyata tidak selamanya hanya digunakan oleh netizen yang terzalimi belaka. Pemutarbalikan fakta hanya karena adanya satu atau dua kata yang disampaikan oleh netizen lain bisa saja dilakukan karena perbedaan pandangan hidup. Penistaan agama dan pencemaran nama baik merupakan dua tema yang sering kali diputarbalikkan untuk kepentingan sebagian pribadi atau kelompok.
Sebagai contoh, seorang dai yang sedang berceramah dalam rangka menumbuhkan sifat mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW bisa saja dilaporkan menistakan Nabi Muhammad SAW hanya karena ada satu atau dua kata yang “dianggap” negatif oleh kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut pun bisa jadi melaporkan ke pemerintah terhadap dai tersebut lantaran ada kata yang secara umum tidak bermasalah. Dengan dalih-dalih yang diungkapkan, seorang dai yang pada dasarnya mengajak umat mencintai Nabi Mumahammad SAW justru dilaporkan menistakan agama dengan merendahkan Nabi Muhammad SAW.
Contoh lain, terdapat seseorang yang biasa melakukan kezaliman terhadap pemerintah dan rakyat namun ditokohkan oleh sebagian kelompok masyarakat, ketika sesorang ini mendapat kritik dari masyarakat yang lain, justru pengkritik dilaporkan sebagai pengguna media maya yang mencemarkan nama baik.
Pelaporan pencemaran baik dan penistaan agama sering kali bukan dikarenakan secara objektif orang yang dilaporkan salah. Sering kali media maya hanyalah alat untuk menyerang masyarakat luas yang tidak sepaham dengan pemikiran sekelompok masyarakat tertentu. Kelompok masyarakat tertentu ini sejatinya sudah menyimpan rasa permusuhan terhadap masyarakat lain dan pemerintah dan selalu mencari celah untuk mempermasalahkan segala tindak-tanduk sehingga terlihat salah. Sehingga pemutarbalikkan fakta sering kali dilakukan dalam rangka upaya merendahkan kelompok masyakat lain.
Tidak cukup dengan pemutar balikkan fakta, media maya juga bisa digunakan oleh kelompok tidak bertanggung jawab sebagai media penebar ujaran kebencian dan hoax. Setelah pemutarbalikkan fakta, banyak pengguna media maya menyebarkan ujaran kebencian. Dai yang sejatinya mengajak cinta kepada Nabi Muhammad SAW secara massif justru dikabarkan sebagai sosok yang menistakan Nabi Muhammad SAW dan agama. Narasi-narasi kebencian dibuat “berjilid-jilid” dan dipublish secara berulang-ulang.
Kondisi semacam ini menunjukkan betapa media maya kita saat ini masih jauh dari kesehatan berkomunikasi. Ada saja virus-virus kebencian dan pemecah-belah masyarakat umum yang disebarkan oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab. Padahal, kelompok ini apabila mendapat kritik atau dihadapkan pada penegak keadilan justru memutar-balikkan fakta dan ganti membalas dengan malaporkan atas dasar pencemaran nama baik. Sehingga dari sini, dalam rangka menyehatkan dunia maya, kita tidak saja mengandalkan adanya UU ITE, namun juga mesti menyehatkan hati setiap pengguna media maya.
Gerak tubuh, termasuk kata-kata yang dikeluarkan dalam media maya, hanyalah cermin dari hati setiap orang. Apabila hatinya sehat, maka kata-kata yang keluar juga sejuk dan tidak pernah menzalimi orang lain. Sebaliknya, apabila hati tidak sehat, maka dalam bermedia maya pun akan keluar kata-kata tidak sehat pula.
Bermula dari sinilah, marilah kita yang setiap saat menggunakan media maya untuk terus berusaha menggunakan dengan baik. Marilah kita berusaha agar apapun yang kita bagikan kepada khalayak merupakan perkara yang positif dan tidak mengandung unsur menzalimi sebagian masyarakat. Langkah ini harus diniatkan dari hati yang terdalam. Jika tidak, maka upaya akan sulit dilakukan.
Wallahu a’lam.
This post was last modified on 26 Februari 2021 12:56 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…