Narasi

Waspada Delegitimasi Tokoh Agama Moderat Melalui Narasi Ulama Su’

Istilah ulama su’ tiba-tiba menjadi trending topic di kalangan umat Islam, terutama di media sosial. Istilah itu muncul di tengah fenomena sejumlah ulama moderat yang memiliki kedekatan dan menunjukkan relasi yang harmonis dengan pemerintah. Ada pihak tertentu yang lantas melabeli mereka, para tokoh agama moderat itu dengan sebutan ulama su’.

Istilah ulama su’ sebenarnya bukan barang baru. Istilah ini sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan, Alquran pun sudah memuat istilah tersebut. Yakni dalam Surat Al A’raf ayat 175-177. Alquran mengartikan ulama su’ sebagai orang yang berilmu namun memiliki berkarakter dan berperilaku buruk.

Secara lebih spesifik, Al Ghazali menjabarkan ciri ulama su’ itu ke dalam sejumlah ciri. Antara lain, suka bermewahan dalam urusan dunia. Menjadikan ilmunya sebagai alat untuk meraih harta dan popularitas.

Suka pujian dan membanggakan banyaknya pengikut. Serta tidak mempraktikkan ilmu yang dimilikinya. Dari definisi para ulama, sebenarnya tidak ada yang secara eksplisit menyebut bahwa ulama su’ adalah ulama yang dekat dengan kekuasaan.

Namun, belakangan ada sekelompok kalangan yang membelokkan definisi ulama su’ ini sebagai tokoh agama yang memiliki kedekatan dengan pemerintah atau penguasa. Lantas, darimana sebenarnya penyelewengan makna ulama su’ ini bermula?

Jika ditelusuri, genealogi penyelewengan makna ulama su’ itu bermula dari kalangan konservatif yang gerah melihat para tokoh agama moderat, memiliki hubungan yang harmonis dengan pemerintah atau pemimpin.

Sedangkan, seperti kita tahu, pemerintahan Joko Widodo selama ini dikenal sangat tegas pada kelompok konservatif radikal. Terbukti, pemerintah berani membubarkan dan lemarang ormas Islam radikal seperti FPI dsn HTI. Langkah ini cenderung berani, karena tidak populer secara politik dan rawan dipolitisasi oleh kelompok anti-pemerintah. Dan, benar saja pasca pembubaran FPI dan HTI, pemerintah diserang beragam isu mulai dari zalim terhadap Islam, kriminalisasi ulama, sampai Islamofobia.

Di saat yang sama, pemerintahan juga gencar mengandeng para tokoh agama moderat dalam mensukseskan agenda moderasi beragama. Kalangan moderat ini tidak hanya dirangkul, namun juga didorong dan difasilitasi untuk memberdayakan umat.

Inilah yang membuat kalangan konservatif radikal seperti kebakaran jenggot dan iri lantas mendelegitimasi para tokoh agama moderat dengan label ulama su’. Seperti yang santer mencuat belakangan ini.

Maka dari itu, umat wajib waspada terhadap narasi saat yang disebar kalangan konservatif tersebut. Labelisasi ulama su’ kepada tokoh agama moderat yang memiliki hubungan harmonis dengan pemerintah adalah sebuah upaya mengadu domba antara ulama, umara, dan umat. Labelisasi itu berbahaya karena berpotensi mendelegitimasi peran dan status ulama atau tokoh agama.

Dalam konteks negara bangsa, relasi ulama dan umara idealnya bersifat mutualistik alias saling membutuhkan dan melengkapi. Umara membutuhkan ulama sebagai penasihat yang memastikan kebijakan pemerintah tidak melanggar syariah.

Sedangkan ulama membutuhkan umara sebagai pelindung bagi kegiatan keagamaan dan memastikan semua kebijakan umara berkontribusi bagi kemaslahatan umat. Jadi, dalam konteks negara bangsa, ulama justru harus dekat dengan umara. Jika tidak dekat, maka bagaimana ulama bisa punya akses untuk memberikan nasihat, sekaligus memastikan agar kebijakan umara berorientasi pada kepentingam umat?

Disinilah sesat pikir kalangan konservatif yang menganggap tokoh agama moderat yang dekat dengan umara sebagai ulama su’ yang telah kehilangan daya kritisnya. Benarkah demikian? Kita melihat sendiri bagaimana para tokoh agama moderat yang dekat dengan pemerintah sama sekali tidak kehilangan daya kritisnya.

Mereka tetap menyuarakan isu-isu kemasyakatan dan kebangsaan. Mereka sama sekali tidak kehilangan daya kritisnya. Dalam konteks negara bangsa demokrasi, mengkritik tidak lantas diartikan sebagai sikap alergi apalagi anti pemerintah. Sikap kritis justru bisa diwujudkan dengan berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan strategis.

Ke depan, kita perlu meluruskan ulang makna istilah ulama su’ yang kadung diselewengkan oleh kelompok konservatif-radikal. Istilah ulama su’ harus dikembalikan ke makna awalnya yakni ulama yang berperilaku tidak sesuai dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Makna ulama su’ sebagai ulama yang dekat dengan umara adalah makna yang kental dengan aroma politisasi kaum radikal.

Nurrochman

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

1 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

1 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

2 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

2 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

2 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

3 hari ago