Narasi

Menafsir Moderasi Beragama Melalui Ajaran Kristen di Indonesia

Sejak ditetapkan oleh Kementerian Agama pada tahun 2019, Kementerian Agama (Kemenag) memperkenalkan sebuah konsep beragama baru yang dikenal sebagai ‘moderasi beragama.’ Tanggal 18 Oktober 2019 sebagai “hari moderasi beragama” ditandai melalui momen peluncuran buku “Moderasi Beragama” (Edi Junaedi, 2019). Sebagai produk kebijakan negara, moderasi beragama sebagai salah satu bingkai politik agama dari perspektif pemerintah di Indonesia (Suhadi Cholil, 2022).

Kementerian Agama mendorong agar seluruh umat beragama di Indonesia hidup dalam prinsip saling menghargai dan menjaga keharmonisan beragama di Indonesia sebagai cita-cita moderasi beragama. Moderasi beragama, menurut K. H. Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama Republik Indonesia Periode 2020-2024, penting dipakai untuk melawan radikalisme dan fanatisme umat beragama di Indonesia.

Sebagai akademisi sekaligus pemuka agama dari komunitas kristen, saya melihat bahwa moderasi beragama juga cukup mendapatkan sambutan baik di kalangan akademisi dan umat kristiani. Artinya, umat kristen mulai membuka ruang kepada kebijakan tersebut. Salah satu sikap yang terlihat ialah penerapan materi ‘moderasi beragama’ dalam materi ajar di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN). Berbagai peneliti di IAKN menginformasikan bahwa moderasi beragama dapat menjadi dasar kurikulum pendidikan karakter kebangsaan bagi anak-anak kristen di Indonesia (Ester Boiliu, 2022).

Bertolak dari antusiasme umat kristiani pada moderasi beragama, tulisan ini adalah kerangka dan tawaran awal tentang bagaimana peran kebijakan moderasi beragama dipahami dan diintegrasikan ke dalam ajaran komunitas Kristen di Indonesia.

 

Memahami Agama Kristen

Agama Kristen, dalam pengertian yang paling sederhana adalah pengikut Yesus Kristus. Sama seperti agama lainnya di Indonesia, dalam perjalanannya, wajah kekristenan mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat signifikan karena kontekstualisasi dan asimilasi ajaran dengan berbagai fenomena di dunia. Oleh karena itu, ajaran dan umat Kristen amatlah beragam. Dalam konteks Indonesia, rujukan utama yang sering kali dipakai di berbagai perguruan tinggi adalah karya klasik Prof. Jan Aritonang dari STFT Jakarta berjudul ‘Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja’ (1997). Pada buku tersebut, Aritonang menguraikan secara apik dan terperinci tentang persebaran dan perkembangan berbagai aliran kekristenan di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mencatat, per tahun 2023, sudah ada 95 organisasi Gereja bercorak Kristen di Indonesia. Setiap organisasi gereja memiliki karakter dan ajaran iman yang tentu saja amat beragam bahkan tak jarang bertolak belakang satu dengan yang lain. Setiap organisasi memiliki aliran-aliran yang berbeda. Aliran kekristenan adalah corak ajaran yang bertolak dari dogma-dogma atau tokoh-tokoh kristen seperti John Calvin, Marthin Luther, Meno Simmon, Santo Agustinus, Teresa dari Avila, dan lain sebagainya. Secara singkat, saya hendak mengatakan bahwa ‘Agama Kristen’ tidak tunggal. Catatan ini penting untuk saya agar saya tidak memakai istilah agama kristen sambil mereduksi keberagaman ‘Kristen’ itu sendiri.

Definisi ‘agama kristen’ yang saya pakai di sini adalah ‘pengikut kristus.’ Terlepas dari berbagai perbedaannya, secara dominan, berbagai aliran kekristenan meyakini dan meneladani Yesus Kristus melalui berbagai sumber seperti kitab suci, ajaran para ibu dan bapak gereja, akademisi, dan pengalaman iman dalam keseharian. Empat dimensi tersebut menjadi pokok atau rancang bangun Ajaran Kristen (christan thelogy). Batasan dan definisi Agama Kristen ini saya pakai untuk memahami moderasi beragama pada bagian selanjutnya.

 

Membingkai Moderasi Beragama melalui Hukum Kasih

Salah satu inti ajaran Kristen, di Indonesia bahkan dunia, adalah hukum kasih. Dasar hukum kasih tercatat dalam Alkitab yakni Matius 22:37-40. Bunyi ayat tersebut adalah: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’

Hukum kasih adalah ajaran utuh. Artinya, perintah tersebut bukan dipraktikkan satu-satu atau secara bertahap seperti cara membaca hukum positif. Hukum pada ayat tersebut dipahami sebagai tatanan kehidupan (the order of life). Maka dari itu, hukum kasih adalah ‘dasar hidup bersama,’ bahkan dengan seluruh ciptaan. Dalam diskusi akademisi-akademisi kristen, hukum kasih diperluas pada relasi dengan alam. Bunyinya adalah ‘kasihilah alam seperti mengasihi diri sendiri’ (Karel Phil Erari, 2017). Oleh karena itu, kasih dalam ajaran kristen adalah tindakan untuk mengasihi Tuhan, Manusia, dan Alam secara total.

Menurut tafsiran saya, hukum kasih dapat dihubungkan dengan cita-cita moderasi beragama. Bila moderasi beragama dipahami sebagai sikap menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, maka hukum kasih dapat menjadi dasar komunitas kristen. Dalam hukum kasih, frasa ‘sesama manusia’ selalu diperluas pada semua orang dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya, gender, tanpa memandang status. Oleh karena itu, kasih adalah ajaran ‘universal.’ Ajaran Kasih adalah perintah untuk mencintai dan menghargai hubungan manusia dengan Tuhan dan Alam Semesta.

Maka dari itu, moderasi beragama dapat berpijak pada landasan hukum kasih. Moderasi beragama bisa dimaknai sebagai bagian dari hukum kasih. Umat kristen di Indonesia dapat mendukung moderasi beragama dengan cara menghargai dan menghormati berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia. Umat kristen tidak boleh bersikap radikal dan fanatik pada ajaran kristen karena sikap tersebut bertolak belakang dengan inti ajaran kristen yaitu mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.

Moderasi beragama adalah konsep yang bermanfaat untuk mewujudkan ajaran kasih. Umat kristen hanya disebut pengikut Kristus apabila mereka tidak membeda-bedakan masyarakat Indonesia dari latar belakang agama sebab tindakan tersebut berlawanan dengan prinsip hukum kasih. Universalitas kasih, pada ukuran tertentu, merangkul tujuan moderasi beragama. Oleh karena itu, Kasih adalah bagian tidak terpisahkan dari sikap menghormati dan menjaga keharmonisan kehidupan beragama. Dengan demikian, moderasi beragama bisa dimaknai sebagai bagian dari agama dan ajaran kristen di Indonesia.

This post was last modified on 1 Oktober 2024 3:37 PM

Jear N. D. K. Nenohai

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago