Narasi

2024 : Stop Politik Identitas, Sehatkan Demokrasi!

Menjelang kontestasi pemilu 2024, mesin-mesin politik akan banyak bergerak untuk mendulang suara. Bisa melalui media sosial. Bisa melalui pertemuan langsung dengan massa pemilih. Kita berharap, para politisi akan mengedepankan cara cerdas untuk memenangkan kontestasi. Hanya saja, dalam praktiknya, kita juga perlu mewaspadai kemungkinan-kemungkinan terdapat black campaign dan politisasi identitas dalam upaya meraih simpati publik.

Sejarah mencatat, dalam suksesi kepemimpinan politik melalui kontestasi pemilu 2019, terjadi friksi dalam kehidupan sosial politik masyarakat akibat politik identitas. Provokasi kebencian dan politasi SARA yang demikian marak di media sosial, menyebabkan perpecahan juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di satu sisi, itu menguntungkan bagi politisi karena mereka akan memiliki pendukung fanatik yang bisa mempengaruhi pemilih lain. Namun, di sisi lain, narasi menjelek-jelekkan lawan, adu domba, ujaran kebencian dan provokasi yang dibangun dalam proses dukung-mendukung, sungguh dapat mengotori semangat demokrasi yang luhur, sebagaimana dijunjung tinggi oleh Founding Fathers Indonesia.

Waspadai Buzzer Politik

Tren menguatnya demokrasi, sebenarnya dapat dilihat dari kebebasan orang memposting segala hal melalui media sosial. Tanpa ada proses saring dan kurasi. Semua bisa menuangkan pikiran masing-masing di media sosial. Sebuah semangat demokrasi yang sudah diimpi-impikan oleh para pendahulu bangsa. Hanya saja, dalam penggunaan media sosial terutama menjelang tahun politik, kita perlu mewaspadai keberadaan buzzer politik.

Buzzer politik umumnya berupa akun-akun anonim (tanpa nama) sehingga tidak memiliki identitas yang jelas. Bertugas untuk mendengung tentang narasi politik tertentu. Mentrendingkan topik tertentu sehingga kepentingan politik tersampaikan. Umumnya berupa provokasi kebencian, hoaks, dan politisasi identitas.

Maka itu, mewaspadai buzzer ialah keniscayaan. Ketika kita lengah, niscaya keharmonisan hubungan antarwarganegara akan terkoyak. Apalagi di tengah keberagaman identitas masyarakat Indonesia yang sangat kompleks. Politisasi identitas akan dapat menyulut api permusuhan. Dan, akan menjadi bom waktu yang siap meledak, mengoyak persatuan dan kesatuan. Kita punya sejarah panjang, dimana konflik identitas telah merenggut rasa aman dan membunuh banyak nyawa dalam konflik Poso dan Sampit.

Maka itu, politik identitas selayaknya untuk dihentikan. Dalam kontestasi politik, lebih penting untuk menampilkan gagasan untuk membangun negara. Menciptakan pemerataan kesejahteraan. Mengentaskan kemiskinan. Bukan memecah-belah negara.

Hal-hal tersebut penting untuk dilakukan dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Demokrasi yang dapat menciptakan pemimpin berkualitas. Yang mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan. Bukan hanya pintar menjatuhkan lawan politik dan memecah-belah persatuan antarwarga negara.

Benar, kita memang memiliki kebebasan berdemokrasi yang lebih baik sekarang. Namun, benarkah demokrasi kita itu sudah ideal dan tanpa catatan? Laporan The Economist Intelegence Unit (EIU) tahun 2020 menguraikan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020. Skor tersebut menempatkan Indonesia berada pada posisi peringkat ke 64 dari 167 negara di dunia. 

Selain itu, Denny JA dalam Jalan Demokrasi dan Kebebasan Untuk Dunia Muslim Indonesia Sebagai Model? (2020), merilis laporan dari Economist Unit Index tahun 2019. Dalam laporan tersebut Indonesia masuk pada kelompok Demokrasi setangah matang (Flawed Democracy) bersama dua negara Muslim lainnya yaitu Tunisia dan Malaysia. Denny menyebutkan bahwa dari 60 negara mayoritas muslim, 50 negara yang ada datanya, tak ada satu pun yang mencapai kualifikasi Full Democracy.

Memperhatikan kenyataan tersebut, kita perlu menyehatkan demokrasi kita dengan membangun narasi-narasi sehat dan tidak menjatuhkan lawan. Boleh mengkritik, namun tidak menjelek-jelekkan. Memberikan opsi solusi yang konstruktif bila perlu. Iklim seperti inilah yang harus ditumbuhkan di media sosial. Sehingga, bisa menciptakan narasi politik yang lebih kondusif. Menciptakan check and balances melalui kritik pada tugas yang sedang/akan diemban oleh para politisi dan penyelenggara negara.

Jadi, marilah kita stop provokasi identitas dalam proses suksesi kepemimpinan politik mendatang. Ciptakan iklim pesta demokrasi yang sehat, yang jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba dan SARA. Persatuan dan kesatuan setiap elemen bangsa dalam membangun negara jauh lebih penting daripada politik praktis yang tidak sehat, yang dapat memicu perpecahan. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 6 Februari 2023 3:31 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago