Saya tidak sepakat, jika perilaku pencopotan label Gereja Reformed di tenda bantuan Gempa di Cianjur itu sebagai perilaku yang tidak perlu dipersoalkan. Jangan menganggap sepele terhadap perilaku yang menjadi “akar” munculnya aksi terorisme itu.
Dari sinilah pentingnya bagi kita untuk mencabut akar terorisme. Dengan tidak membiarkan perilaku intolerant semakin subur di negeri ini, sebagaimana ada 4 tips bagi kita yang harus kita pahami.
Pertama, mencabut “Kesombongan teologis”. Istilah kesombongan teologis ini pada dasarnya sebuah ekspresi beragama yang mengacu ke dalam wilayah “cara beragama” yang merasa dirinya lebih suci dan menganggap di luar dirinya penuh dengan noda.
Seperti halnya dalam konteks yang dihadapi saat ini. Perilaku intolerant berupa pencopotan terhadap label bantuan dari non-muslim pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya “kesombongan” dalam beragama dengan merasa bahwa di luar agamanya sebagai musuh.
Ini adalah “penyakit kronis” yang harus dicabut dalam diri kita. Dengan membangun dasar-dasar beragama yang mengarah ke dalam wilayah “kesadaran teologis” di mana (sadar secara agama) hingga meniscayakan orientasi berpikir yang lebih merasa bahwa mereka yang berbeda agama sebagai saudara dalam kemanusiaan.
Kedua, mencabut sikap fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme pada dasarnya bukan mengacu ke dalam wilayah kepatuhan yang berdasar pada nalar-pikiran-hati-nurani dalam beragama. Melainkan sesuatu yang sifatnya kesadaran yang stagnan, tekstual dan menutup pikiran untuk beragama yang lebih egalitarian.
Dari sinilah muncul yang namanya sikap frontal seperti mudah mengkafir-kafirkan, enggan untuk menerima perbedaan, sulit untuk menerima pendapat lain dan condong apatis serta egois dalam beragama. Sikap yang demikianlah yang harus kita cabut dalam diri kita.
Kedua, mencabut iri, dengki dan kebencian diri. Ada satu kesadaran penting yang harus kita pahami, bahwa segala bentuk intoleransi pada dasarnya bukan sebagai ajaran/nilai agama. Melainkan sebagai kesadaran diri yang dipenuhi dengan iri, dengki dan kebencian yang mengakar.
Tidak ada dasar ajaran keagamaan yang memerintahkan seseorang untuk bersikap intolerant terhadap mereka yang berbeda agama. Sebab, ini tidak lain sebagai kesadaran yang mengecu ke dalam apa yang ada dalam diri kita untuk kita hilangkan.
Seperti halnya, kita tidak mau untuk bersaudara dengan mereka yang berbeda agama bukan karena agama memerintahkan itu. Melainkan “penyakit” yang sebetulnya tumbuh dalam diri kita yaitu kebencian dan kedengkian serta iri hati yang harus kita cabut.
Keempat, mencabut pikiran eksklusif. Kesadaran untuk merasa tidak butuh orang yang berbeda agama dan tidak menerima kebenaran di luar agamanya sebetulnya adalah hal yang sangat perlu kita cabut dalam diri.
Agama mengajarkan kita untuk bersaudara, saling tolong menolong, saling membutuhkan dan kita meskipun bukan saudara dalam iman, tetapi kita adalah saudara dalam kemanusiaan. Dari sinilah pentingnya bagi kita untuk mencabut sikap ekslusif dalam diri kita.
This post was last modified on 6 Desember 2022 12:14 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…