Belum reda kecemasan publik akibat peristiwa teror yang dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sigi, Sulawesi Tengah, kini publik dikagetkan dengan kasus penyerangan anggota FPI (Front Pembela Islam) terhadap Polisi. Peristiwa itu terjadi pada Senin (7/12/2020) di jalan tol Cikampek. Seturut keterangan Polisi sebagaimana dirilis sejumlah media massa daring, anggota FPI yang tengah mengawal Rizieq Shihab menyerang anggota Polisi menggunakan senjata api dan senjata tajam. Akibatnya, enam anggota FPI tewas diterjang peluru Polisi.
Dua peristiwa yang terjadi secara beruntun itu menjadi semacam warning alarm bagi kita bahwa fanatisme agama dan kultus individu dapat menginspirasi lahirnya tindakan destruktif. Teror MIT di Sigi menjelaskan bagaimana ekstremisme agama telah mendegradasikan nilai kemanusiaan sampai ke titik nadir. Sedangkan peristiwa penyerangan FPI terhadap Polisi menggambarkan bagaimana kultus pada organisasi dan individu bisa menjurus pada sikap pembangkangan terhadap otoritas hukum, bahkan negara. Kita tentu tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dua peristiwa itu sedikit-banyak ada kaitannya dengan agama (Islam). Dan kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dalam praktiknya, keagamaan memang kerap diselewengkan oleh para pemeluknya untuk menjustifikasi perilaku yang provokatif, memecah-belah, bahkan destruktif.
Agama memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam leksikon psikologi, disebutkan bahwa ada dua kebutuhan mendasar manusia yang tidak bisa dielakkan. Pertama, kebutuhan spiritual yang merupakan titik kulminasi dari tujuan pencarian metafisik. Kedua, kebutuhan sosial untuk merefleksikan dan mengekspresikan keyakinan agamanya. Dalam hal ini, setiap individu beragama akan berpikir dan bertindak sesuai dengan doktrin keagamaan yang ia yakini. Perenungan dan petualanan spiritual yang dijalani umat beragama akan berdampak atau setidaknya mewarnai kehidupan sosialnya. Inilah konsekuensi dari beragama.
Pada dasarnya, setiap agama memiliki nilai esensial yang sama; yakni mengarahkan penganutnya menuju realias sosial yang dinamis dan kreaktif dalam mencapai taraf kehidupan individu dan sosial yang lebih baik. Secara teologis, salah satu fungsi agama yang paling penting ialah menciptakan rasa aman sekaligus kepastian kepada para pemeluknya. Rasa aman itu datang dari sikap kepasrahan pada Sang Ilahi. Sedangkan kepastian itu didapatkan dari keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan balasan surga bagi umat beragama yang taat.
Di titik ini, kita bisa melihat bahwa secara umum, karakter agama ialah bersifat konstruktif. Agama mengajak manusia menjalani hidup dengan optimis, rasional, kreaktif sekaligus berorientasi pada pencapaian positif. Karakter konstruktif agama itu jelas mengemuka dalam ajaran semua agama yang menyeru dan mengajak pemeluknya untuk selalu berbuat kebaikan, menciptakan perdamaian dan menjunjung kemanusiaan.
Ironisnya, dalam perjalanan selanjutnya yang kerap bersinggungan dengan aspek sosial lain seperti ekonomi dan politik, agama mengalami semacam disorientasi karakter dari yang tadinya konstruktif mengarah ke destruktif. Umat beragama yang gagal menangkap pesan universalitas di balik doktrin agama kerap menjadikan agama sebagai alat pemecah belah persatuan bahkan sarana untuk menjustifikasi tindakan kekerasan atau destruktif pada kelompok lain. Gejala keberagamaan destruktif ini kian terasa akut manakala agama dipahami secara ideologis-politis seperti terlihat dalam konteks Indonesia belakangan ini.
Mengembalikan Karakter Agama yang Konstruktif
Eskalasi kekerasan dan tindakan destruktif yang sedikit-banyak dilatari oleh agama sebagaimana terjadi belakangan ini ialah sinyal tanda bahaya yang tidak boleh kita abaikan. Diperlukan upaya sistematis dan strategis untuk mengambalikan watak agama yang konstruktif. Setidaknya ada tiga langkah untuk mengembalikan agama ke watak dasarnya yang konstruktif. Pertama, menjalani laku keberagamaan secara kontemplatif. Ini artinya, umat beragama harus menjadikan agama sebagai sarana untuk melihat ke dalam diri sendiri, menilai kekurangan pribadi dan membuang segala arogansi. Agama idealnya menjadi ruang dimana manusia bisa mencari jawaban atas kegelisahan psikologis dan spiritual. Sebaliknya, agama tidak sepatutnya menjadi sarana untuk menjustifikasi sikap jemawa, fanatis, apalagi destruktif.
Kedua, mengedepankan sikap dialogis dalam beragama, terutama ketika berhadapan dengan kelompok agama lain maupun kepentingan yang berbeda. Nalar dialogis akan membawa umat beragama ke level pemahaman keagamaan yang lebih tinggi, yakni memahami agama dengan perspektif yang luas serta bijaksana. Tanpa nalar dialogis, agama akan menjadi monumen yang beku dan kaku, serta gagap menghadapi realitas dunia yang kompleks dan plural. Akibatnya seperti dapat dilihat belakangan ini, respons umat beragama dalam menghadapi dinamika isu sosial-politik yang berkembang lebih cenderung bersikap destruktif.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah selalu mengedepankan nilai positif agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diakui atau tidak, ada sisi-sisi tertentu dalam agama yang potensial disalahpahami pengikutnya jika tidak dipahami dalam kerangka yang konstruktif dan positif. Dalam Islam misalnya, terdapat ajaran jihad yang dalam banyak hal kerap disalahtafsirkan sebagai seruan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dipersepsikan sebagai musuh atau ancaman Islam. Kesalahan dalam memaknai doktrin agama ini tidak pelak telah mendorong umat beragama berperilaku destruktif. Maka dari itu, penting bagi umat beragama untuk memahami ajaran agama dalam bingkai yang konstruktif-positif, yakni bahwa seluruh doktrin keagamaan pada dasarnya bermuara pada dua hal, yakni perdamaian dan kemanusiaan.
Adalah kewajiban seluruh umat beragama untuk menjalani laku keagamaan dengan mengedepankan paradigma konstruktif. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini tengah menghadapi ujian bertubi. Krisis ekonomi dan sosial akibat pandemi ialah pukulan telak yang nyaris membuat bangsa dan negara kita limbung. Di tengah situasi ini, agama idealnya bisa berperan secara konstruktif untuk mengurai simpul-simpul persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Jika pun tidak mampu menghadirkan solusi nyata, cukuplah umat beragama tidak menambah beban berat pemerintah dan masyarakat dengan tidak menjalani laku keberagamaan yang destruktif.
This post was last modified on 8 Desember 2020 2:03 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…