Narasi

Agama, Terorisme dan Banalitas Kejahatan

Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang memerintahkan kekerasan. Namun, ironisnya nyaris semua agama di dunia memiliki kisah kelam tentang kekerasan. Bisa dibilang, perjalanan agama-agama di dunia sarat dengan cerita peperangan dan kekerasan. Dalam Islam, fenomena kekerasan atas nama agama itu belakangan mewujud ke dalam aksi-aksi terorisme yang tidak hanya menimbulkan kecemasan, namun juga korban jiwa. Terakhir, kita tercengang oleh aksi teror yang dilakukan oleh jaringan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Ali Kalora yang secara bengis membantai empat anggota keluarga dan membakar sejumlah rumah di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (27-11-2020) lalu.  

Kejadian itu sontak membuat kita bertanya, keyakinan agama macam apa yang melandasi seseorang tega membantai orang lain yang bahkan tidak ada sangkut-paut dan urusannya dengan agenda mereka? MIT sebagaimana kita tahu merupakan organisasi jaringan teror yang notabene terbentuk dari sisa-sisa milisi Islam pada momen kerusuhan etnis dan agama di Poso, beberapa tahun lalu.

Dalam perkembangannya, MIT berbaiat pada organisasi jaringan teroris dunia ISIS dan menggaungkan agenda mendirikan khilafah islamiyyah di negeri Indonesia. Perilaku keji kelompok MIT membantai warga tidak bersalah bukan kali pertama ini terjadi. Sebelumnya, anggota MIT kerap melakukan hal serupa dengan satu tujuan; menebar teror ke publik agar masyarakat cemas, takut dan tidak percaya pada otoritas pemerintah.

Terorisme Masih Ada

Apa yang dilakukan oleh anggota MIT itu ialah bentuk terorisme yang paling paripurna. Menyerang wargasipil dengan membabi-buta dan brutal untuk mengirimkan pesan pada pemerintah dan masyarakat. Tidak jelas siapa yang menjadi sasaran dan apa motifnya. Satu-satunya tujuan ialah mendapatkan perhatian dan menunjukkan bahwa mereka masih eksis. Tindakan ini jelas di luar nalar ajaran agama.

Islam memang mengenal peperangan sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan diri. Namun, peperangan dalam Islam diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan korban yang tidak diinginkan (collateral damage). Di sebutkan dalam ajaran Islam bahwa dalam situasi perang, kita dilarang membunuh perempuan, anak-anak dan lansia yang bukan bagian dari tentara. Bahkan, sebatang pohon pun tidak diperkenankan ditebang jika tidak ada kaitannya dengan peperangan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tindakan barbar kelompok MIT membunuh warga biasa ialah tindakan yang pantas disebut sebagai banalitas kejahatan (banality of evil). Istilah banalitas kejahatan dipopulerkan pertama kali oleh filosof Hannah Arendt. Ia memakai istilah itu untuk menggambarkan bagaimana peristiwa Holocaust, yakni pembantaian komunitas Yahudi Eropa oleh tentara Nazi dibawah komando Adolf Hitler. Arendt mencetuskan teori banalitas kekerasan itu manakala ia mengikuti proses persidangan Adolf Eichmaan, seorang birokrat Nazi yang notabene merupakan penanggung jawab utama kamp-kamp konsentrasi pembantaian warga Yahudi.

Dari serangkaian pengamatan terhadap jawaban, bahasa tubuh dan sikap Eichmann di persidangan, Arendt sampai pada satu kesimpulan bahwa ia pada dasarnya bukan orang jahat, melainkan orang yang semata patuh pada atasan dengan tanpa menyisakan ruang kritis. Inilah yang disebut Arendt sebagai banalitas kejahatan, yakni perilaku kejahatan yang dilatari oleh dua hal, yakni kekerasan sistemik dan hilangnya imajinasi kritis.

Kekerasan sistemik itu mewujud pada sikap diskriminasi rasial terhadap warga Yahudi yang dianggap sebagai benalu bagi masyarakat Eropa dan ras Arya pada umumnya. Pandangan diskriminatif itulah yang lantas melahirkan berbagai bentuk kekerasan, mulai kekerasan non-fisik sampai kekerasan fisik seperti penyerangan, perampasan harta-benda hingga pembunuhan massal (genocide). Sedangkan hilangnya imajinasi kritis itu mewujud pada sikap patuh tanpa syarat dari para birokrat Nazi dalam menjalankan perintah petinggi mereka, Hitler. Loyalitas tanpa batas yang membunuh imajinasi kritis itulah yang membuat para birokrat Nazi menganggap kejahatan sebagai hal yang biasa alias lumrah.

Mengembangkan Keberagamaan Moderat-Imajinatif

Kondisi itu juga mengemuka dalam konteks fenomena terorisme agama (Islam). Terorisme atas nama agama sebagai bagian dari banalitas kejahatan muncul karena dua faktor. Pertama, kekerasan sistemik yang dilatari oleh perbedaan agama. Kaum teroris seperti kita tahu memiliki pandangan keagamaan yang eksklusif, intoleran bahkan radikal-ekstrem. Bagi kaum teroris, kelompok yang berbeda agama atau seagama namun berbeda pandangan ialah  musuh yang wajid dienyahkan. Dalam keyakinan teroris, tidak ada tempat di dunia ini selain kelompok mereka sendiri.

Kedua, hilangnya imajinasi kritis dalam beragama karena mereka (kaum teroris) terlanjur bertaklid buta pada pandangan keagamaan yang ekstrem. Organisasi teroris seperti kita tahu merupakan organisasi yang super eksklusif, dimana indoktrinasi menjadi salah satu hal yang paling utama. Teroris, apa pun bentuknya mulai dari ISIS, Al Qaeda, Boko Haram, hingga MIT ialah organisasi yang digerakkan di atas fondasi nalar indoktrinasi, alih-alih nalar diskursif. Kepatuhan menjadi salah satu prasyarat utama dalam jaringan teroris. Maka, ketika garis komando sudah ditentukan dari atas, anggota lapisan bawah hanya bisa melaksanakannya tanpa perlu memikirkan ulang apakah hal itu salah atau benar.

Dua hal itulah yang menjadi akar dari fenomena terorisme atas nama agama yang belakangan ini marak terjadi. Seperti kasus yang baru saja terjadi di Kabupaten Sigi, Sulteng. Selama kekerasan sistemik dan matinya imajinasi beragama masih langgeng, maka fenomena terorisme akan terus terjadi di bumi ini. Maka, menjadi kebutuhan urgen seluruh kelompok agama untuk mengembangkan corak keagamaan yang toleran, inklusif dan moderat. Corak keagamaan yang toleran, inklusif dan moderat akan membentuk kesadaran bahwa kelompok berbeda bukanlah musuh yang harus dienyahkan melalui jalan kekerasan.

Tidak kalah penting dari itu ialah mengembangkan corak keagamaan yang dilandasi nalar imajinasi kritis. Kaum beragama perlu menjalani ajaran dan laku keagamaannya dengan rasional, bukan semata berpasrah pada taklid buta pendapat orang lain. Agama, apalagi Islam sangat menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan imajinasi, termasuk dalam memahami ajaran agama. Dengan rasionalitas dan imajinasi kritis itulah, umat beragama diharapkan tidak mudah terjebak pada pemahaman radikal yang tidak hanya menyesatkan namun juda destruktif.

This post was last modified on 30 November 2020 5:10 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago