Narasi

Agar Tidak Menelan Banyak Korban, Mari Galakkan Siskamling Media Sosial

Seorang pakar IT mengatakan, media sosial sudah menjadi negara baru generasi saat ini. Nah, jika demikian yang terjadi, maka kita mau jadi masyarakat seperti apa di negara baru itu? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang aktif mengkonsumsi serta memproduksi konten negatif di media sosial.

Jujur diakui bahwa, media sosial yang saat ini lebih banyak disesaki konten negatif seperti berita palsu, berita berbau SARA, fitnah, dan sejenisnya. Mengingat media sosial sangat efektif untuk mempengaruhi pandangan seseorang (pembaca), maka banyak masyarakat menjadi korban atas konten negatif tersebut. Tentu ini merupakan kondisi yang tidak menyenangkan. Justru malah berpotensi besar memunculkan masalah baru, seperti perpecahan dan konflik yang mengarah pada kekerasan.

Kepala Biro Humas Keminfo, Ismali Cawidu, sebagaimana dikutip dari tempo.co (29/4/2016) menjelaskan bahwa, pengguna internet mayoritas digunakan masyarakat untuk menikmati konten media sosial. Cawidu juga memberikan informasi menarik, bahwa kini pengguna internet melalui smartphone android sudah mencapai 124 juta pengguna. Jumlah pengguna tersebut sangat memungkinkan bertambah pesat pada tahun 2018 ini.

Pada awal 2017 lalu, Royal Society for Public Health (RSPH), melakukan sebuah penelitian di Inggris tentang pengaruh penggunaan platform media sosial bagi remaja dan dewasa. Hasilnya, media sosial (medsos) memiliki pengaruh baik dan buruk sekaligus. Pengaruh buruk, diantaranya adalah menganggu kesehatan mental.

Berangkat dari penelitian RSPH, lantas saya berani menyimpulkan bahwa baik dan buruk masyarakat millenial, sangat ditentukan oleh konten yang diproduksi atau disebarkan di medsos. Jika konten tersebut positif, maka masyarakat (warganet) akan tercerahkan. Sebaliknya, jika dijejali konten negatif, maka habis sudah masa depan warganet.

Berdasarkan pengamatan penulis secara sekilas saja, sudah dapat ditemukan bahwa para netizen di Indonesia lebih suka materi berita yang dibumbui dengan aroma penyedap rasa seperti provokasi dan fitnah. Lihat saja, berita yang mudah viral adalah yang bernuansa ejeken dan hinaan terhadap kelompok tertentu. Langit-langit medsos dijadikan sebagai lahan untuk “menghabisi” kelompok tertentu.

Harusnya, medsos dijadikan sebagai wadah untuk mendialogkan ide dan gagasan tanpa harus menjelek-jelekkan kelompok lain. Medsos juga harus dijadikan sebagai menjalin silaturrahmi via teknologi.

Akhirnya, yang kadung terjadi, biarlah belalu. Kini, segenap warganet atau netizen wajib bergegas, pindah haluan, yakni menjadi duta damai dan menyejukkan di dunia maya.

Tentu kita semua tidak menginginkan media sosial yang disesaki konten negatif itu menelan banyak korban. Oleh sebab itu, mari galakkan konsep dan strategi baru, yakni sistem keamanan lingkungan (siskamling) media sosial. Siskamling, sebagaimana dijelaskan redaksi PMD, adalah insiatif yang lahir dari masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan gejala dan potensi akun dan konten yang kerap mengganggu ketertiban apalagi mempromosikan ajaran dan ajakan kekerasan di ruang maya (JD, 13/2).

Siskamling media sosial ini memerlukan peran aktif masyarakat. Peran tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh petugas sikamling biasa, yakni melakukan patroli di sekitar lingkungan untuk memastikan lingkungan sekitar aman dan nyaman dari gangguan para maling dan penjahat lainnya.

Jadi, siskamling media sosial sangat efektif untuk meminimalisir korban kejahatan konten media sosial yang menyesatkan. Bahkan, melalui program siskamling ini, media sosial yang berhakuan keras dan provokatif, dapat segera diblokir berkat pengamatan dan laporan dari masyarakat.

Dengan demikian, masyarakat mempunyai tugas yang sama seperti pemerintah, yakni melalui patroli siber (cyber patroli). Justru siskamling ini bisa efektif dari sekedar patroli siber. Karena masyarakat sendiri yang berperan.

Oleh sebab itu, masyarakat harus mengetahui akan posisinya ini. Jika mengetahui akun medsos yang gemar menyebarkan berita palus dan mengarah pada upaya memecah belah umat, maka jangan takut dan jangan pula segan untu melakukan aduan konten.

This post was last modified on 14 Februari 2018 12:43 PM

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

24 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

24 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

1 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

1 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

2 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

2 hari ago