Teknologi, dalam sanad panjang sejarah peradaban, adalah cerminan dari akal budi manusia. Ia bisa menjadi pena yang menorehkan ilmu, atau pedang yang mengiris perdamaian. Perkembangan kecerdasan buatan (AI) atau kita bisa menyebutnya Akal Imitasi, layaknya tonggak baru di abad ke-21, kini membuka kotak Pandora itu kembali. AI bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan medan pertempuran ideologi, tempat jaringan teroris global menemukan senjata baru yang senyap namun mematikan.
Makna “Jihad” Terperosok dalam Algoritma
Pemikir sekaliber Martin Heidegger telah mewanti-wanti bahwa teknologi tidak pernah netral. Ia selalu “mengungkapkan” dunia dengan caranya sendiri. Karena kita tahu bahwa teknologi adalah produk. Hari ini, AI telah digunakan untuk menginstrumentalisasi kekerasan. Kita bisa lihat bagaimana laporan dari lembaga keamanan global, seperti Europol, menunjukkan bahwa deepfake dan algoritma kini menjadi alat untuk memanipulasi citra pemimpin, merekayasa peristiwa, dan menyebarkan kebencian.
Dari perspektif linguistik, ini adalah ancaman serius. Bahasa bukan hanya medium komunikasi semat, melainkan fondasi pembentukan identitas dan ikatan sosial. Ketika AI mampu meniru dialek lokal, atau bahkan gaya bahasa para ulama, ia bisa merusak pondasi itu. Ia menyusup dan menyemai benih racun dalam sebuah komunitas, dengan narasi yang terasa autentik, padahal buatan mesin. Jika sebuah pondasi telah rusak, bagaimanakah bangunannya?
Yang paling merisaukan adalah pergeseran makna jihad. Dalam pemahaman ulama salaf, seperti yang diajarkan dalam madrasah klasik, kata jihad merujuk pada upaya sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu dan memperbaiki diri, atau perjuangan untuk kebaikan. Namun, kini, makna mulia itu direduksi hanya sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan. AI, dengan kemampuannya menciptakan ribuan bot dan akun palsu, mempercepat penyebaran tafsir keliru ini seolah-olah ia adalah kebenaran yang otentik dan pantas untuk diyakini.
Indonesia: Nyata maupun Maya adalah Ladang Subur
Indonesia, sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar dan adopsi digital yang masif, berada di persimpangan jalan. Data APJII menunjukkan lebih dari 210 juta orang Indonesia terhubung ke internet, menciptakan “pasar” besar bagi propaganda, termasuk narasi teror.
Ada beberapa kerentanan yang perlu kita waspadai:
Sebagai umat yang diberikan akal dan pilihan, kita tidak bisa menyerah pada determinisme teknologi. Tanggung jawab kita adalah memastikan AI tidak menjadi instrumen destruktif. Ada tiga pendekatan yang perlu kita dorong:
Pedang Peradaban
AI adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat untuk kemaslahatan, tetapi juga senjata digital yang mampu menciptakan kehancuran masif. Jaringan teroris telah menunjukkan betapa adaptifnya mereka terhadap setiap perkembangan teknologi, dan Indonesia tidak boleh lengah.
Sebagaimana yang diingatkan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya, setiap peradaban akan diuji oleh alat yang ia ciptakan sendiri. Tantangan kita saat ini adalah memastikan AI tidak menjadi alat bagi peradaban kebencian, tetapi justru menjadi instrumen untuk membangun peradaban yang penuh perdamaian. Ini adalah tugas kita sebagai intelektual, sebagai masyarakat, dan sebagai umat yang berakal, untuk memastikan bahwa pedang ini digunakan untuk memotong kebodohan, memutus terorisme dan radikalisme bukan untuk menebar kebencian dan menanam kekacauan.
Empat hari pasca penyerangan ISIS ke gedung konser di Rusia pada Maret 2024 lalu, kelompok…
Kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membuka babak baru dalam peradaban manusia. Salah satu inovasi…
Setiap bulan Agustus, bangsa Indonesia seolah menemukan denyut kebersamaannya kembali. Dari istana hingga gang sempit…
Tentang arti dari sebuah kedaulatan, barangkali Sri Sultan Hamengku Buwana I adalah salah satu sosok…
Pesta rakyat merupakan sebuah ekspresi komunal yang tak hanya menandai perayaan, tetapi juga mencerminkan wujud…
Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…