Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perhelatan Kongres Pemuda II yang diikuti oleh sejumlah elemen gerakan kepemudaan di seluruh wilayah Nusantara mendeklarasikan tiga butir ikrar Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak awal lahirnaya kesadaran kebangsaan. Satu hal penting yang patut kita teladani dari kemunculan Sumpah Pemuda ialah spirit nasionalisme (kebangsaan) yang mampu menganulir segala egoisme dan arogansi yang dilatari oleh sentimen kesukuan maupun keagamaan. Sumpah Pemuda membuktikan bahwa kehendak kolektif untuk merdeka dari kolonialisme mampu menjadi pemersatu beragam entitas yang berbeda satu sama lain.
Kini usia, Sumpah Pemuda sudah mencapai 92 tahun, usia Republik Indonesia pun sudah lebih dari tujuh dekade. Di satu sisi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai capaian baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya. Namun, di sisi lain kita juga dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan. Antara lain mengendurnya komitmen untuk menjaga persatuan bangsa lantaran kencangnya arus penetrasi politisasi perbedaan dan politik identitas yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Lunturnya komitmen kebangsaan itu lantas berdampak langsung pada sikap masyarakat yang permisif pada masuknya ideologi asing yang sebenarnya bertentangan dengan NKRI dan Pancasila. Impor ideologi transnasional itu begitu santer belakangan ini lantaran masyarakat, terutama generasi muda mulai kehilangan kesadaran kebangsaan dan mudah terpukau oleh ideologi asing.
Situasi yang demikian ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Dalam pandangan sosiolog Ernest Renant, sebuah bangsa merupakan komponen imajiner dimana didalamnya terdapat gagasan kolektif dan cita-cita bersama tentang masa depan. Jadi, yang menyatukan dan mempererat bangsa sebenarnya bukanlah kesamaan identitas (agama, etnis, ras, dan sejenisnya) melainkan komitmen kolektif untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Lebih lanjut, Renant mewanti-wanti bahwa memudarnya komitmen kebangsaan merupakan gejala munculnya apa yang disebutnya sebagai krisis kebangsaan. Yakni satu kondisi ketika sebuah bangsa kehilangan komitmen untuk menjaga komitmen persatuan dan kehendak untuk mewujudkan imajinasi kolektifnya. Dalam kondisi demikian itu, sebuah bangsa pada dasarnya mengalami kerapuhan dari dalam.
Mengindentifikasi Gejala Krisis Kebangsaan
Gejala krisis kebangsaan itu tampaknya juga mulai muncul di Indonesia belakangan ini. Asumsi ini dapat diidentifikasi dari setidaknya dua hal. Pertama, maraknya praktik politik menyimpang yang cenderung mengeksploitasi perbedaan identitas sebagai komoditasnya. Praktik politik identitas yang marak terjadi dalam satu dekade terakhir ini tidak pelak telah menimbulkan perpecahan di masyarakat. Kedua, masifnya penyebaran paham radikal keagamaan di kalangan masyarakat, utamanya generasi muda. Pasca berakhirnya Orde Baru, kita menyaksikan sendiri kebangkitan Islam politik dengan wajahnya yang berkarakter konservatif, intoleran bahkan radikal. Gelombang islamisme politik itu pun menemukan momentumnya dengan berkembangnya ideologi Islam transnasional, terutama yang mengusung paham khilafah.
Dalam perspektif yang lebih luas, krisis kebangsaan juga diakibatkan oleh penetrasi globalisasi yang meninggalkan banyak residu persoalan. Antara lain kesenjangan sosial, krisis identitas dan memudarnya spirit nasionalisme. Globalisasi yang disokong oleh perkembangan teknologi informasi berbasis digital harus diakui telah mengubah karakter dan jatidiri masyarakat Indonesia, terutama kalangan anak muda. Secara filosofis, krisis kebangsaan itu bisa kita identifikasi dari banyaknya pertentangan narasi dan wacana yang membuat masyarakat berada dalam turbulensi sosial. Sedangkan secara empirik, krisis kebangsaan itu bisa kita lihat dari merebaknya ujaran kebencian yang berkelindan dengan hoaks dan fitnah. Di tengah turbulensi sosial dan praktik politik berbasis kebencian itulah, benih-benih radikalisme tumbuh.
Momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kiranya tidak hanya dipahami sebagai ritus tahunan yang nirimplementasi dan miskin aktualisasi. Sebaliknya, ritus tahunan itu selayaknya mampu melahirkan habitus baru, yakni imajinasi kebangsaan. Imajinasi kebangsaan secara sederhana dapat dipahami sebagai satu sikap individu atau kelompok yang membayangkan bahwa semua kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab dan tugas yang sama untuk mewujudkan cita-cita kolektif, yakni memakmurkan dan memajukan kehidupan bangsa. Imajinasi kebangsaan itu bisa terejawantahkan ke dalam partisipasi aktif dalam menjaga persatuan bangsa dan menghalau segala potensi ancaman, termasuk ancaman yang datang dari penyebaran ideologi radikal.
Strategi Kaum Muda Menghalau Paham Radikal
Di era kontemporer, penyebaran ideologi radikal, utamanya yang diimpor dari luar bisa dikategorikan sebagai ancaman serius bagi eksistensi sebuah bangsa. Bangsa yang besar, kokoh dan maju bisa dikoyak dari dalam oleh konflik sosial yang diakibatkan infiltrasi ideologi transnasional. Di titik ini, kita perlu meningkatkan kewaspadaaan sejak dini terhadap bahaya penyebaran ideologi radikal yang terus mencari celah dan memanfaatkan momentum untuk menjerumuskan bangsa dalam jurang kekacauan sosial. Bangsa Indonesia, terutama kalangan generasi mudanya dalam konteks ini memiliki kewajiban untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam kaitannya dengan menangkal paham radikal.
Ikrar Sumpah Pemuda yang pernah secara lantang dikumandangkan dalam Kongres Pemuda II patut kita ejawantahkan ulang dalam konteks keindonesiaan sekarang. Komitmen bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, berbangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia, merupakan wujud dari imajinasi kebangsaan yang melampaui sekat kesukuan, etnisitas, agama dan lain sebagainya. Ikrar Sumpah Pemuda ialah wujud nasionalisme utuh yang dibangun di atas fondasi kesadaran akan kemerdekaan dan nilai kemanusiaan. Di masa sekarang, kaum muda memiliki kewajiban untuk menggaungkan kembali spirit satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, terlebih untuk menganulir ancaman radikalisme.
Untuk itu, para pemuda Indonesia hari ini wajib memiliki visi ke depan dan pemahaman sahih tentang kondisi sosial-politik dalam negeri serta kondisi ekonomi dan geopolitik global. Pemahaman akan peta situasi sosial-politik dalam negeri akan membuat anak muda paham peta jalan (road map) arah bangsa ke depan sehingga tidak mudah diprovokasi oleh pihak tertentu untuk melawan negara dan bersikap anti pada Pancasila dan NKRI. Sedangkan pemahaman geopolitik global diperlukan agar anak muda memahami konstelasi politik internasional dan pertentangan ideologi di dalamnya. Tujuannya agar anak muda memiliki sikap tegas dalam mempertahankan nasionalisme dan menghalau ideologi transnasional, terutama yang bercorak radikal.
Sumpah Pemuda yang tercetus pada 28 Oktober tahun 1928 bukanlah produk instan sekali jadi, melainkan akumulasi dari proses panjang gerakan kepemudaan kala itu. Mereka cerdas membaca situasi politik internasional dimana kala itu kesadaran tentang nasionalisme tengah bangkit dimana-mana. Mereka juga jeli membaca peta pergerakan perjuangan kemerdekaan nasional yang sebelumnya masih terkotak-kotakkan oleh suku, agama, ras dan sejenisnya. Deklarasi sumpah pemuda ialah deklarasi tentang nasionalisme dan imajinasi kebangsaan yang disuarakan tidak hanya bagi kaum penjajah maupun kaum pribumi, meliankan juga digaungkan untuk dunia internasional. Spirit itulah yang harus kita aktualisasikan di masa sekarang.
This post was last modified on 28 Oktober 2020 10:40 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…