Narasi

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim Scholars direspons antusias oleh kelompok muslim konservatif di Indonesia.

Mereka memanfaatkan momentum ini untuk kembali menebar pesan-pesan yang menjurus pada kekerasan dan perang. Fatwa IUMS ini telah dijadikan alat legitimasi untuk menyebarkan pandangan ekstrem mereka terhadap kelompok yang berbeda pasangan.

Di media sosial, mulai muncul narasi bahwa kelompok yang kritis atau menolak fatwa jihad IUMS sebagai pihak yang menormalisasi penjajahan. Muncul pula tudingan bahwa umat Islam yang tidak setuju pada fatwa jihad dan lebih memilih memakai jalur perjuangan non kekerasan sebagai kaum munafikun, agen zionis, dan antek Yahudi. Pada akhirnya, kontroversi fatwa jihad IUMS ini justru menimbulkan perpecahan di tengah umat Islam.

Lantas, apakah sikap kritis terhadap fatwa jihad IUMS bisa dikatakan sebagai bentuk normalisasi terhadap penjajahan atau dukungan terhadap zionisme?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menjelaskan terlebih dahulu bagaimana strategi melawan penjajahan. Dalam sejarahnya, kemerdekaan sebuah bangsa dari tangan penjajah itu tidak melulu hasil dari peperangan fisik. Sejarah justru mencatat, banyak bangsa bisa merdeka dari penjajah karena jalur perjuangan non-kekerasan, dan strategi diplomasi internasional.

Dalam konteks sejarah revolusi Indonesia misalnya, ada dua kelompok revolusioner. Yakni kelompok non-kooperatif yang berkeyakinan bahwa kemerdekaan bangsa hanya bisa diwujudkan melalui jalur peperangan murni. Sedangkan kelompok kedua, yakni kelompok kooperatif meyakini bahwa perjuangan fisik melalui peperangan militer tidak akan berarti banyak tanpa melakukan negosiasi dan diplomasi.

Dalam konteks Indonesia, kelompok non-kooperatif dan kelompok kooperatif punya saham yang sama besarnya dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa. Bahkan, di awal masa kemerdekaan, strategi diplomasi itu menjadi penentu bagi eksistensi Indonesia dimata dunia.

Dengan diplomasi yang efektif, Indonesia sebagai negara yang baru merdeka mendapatkan pengakuan oleh sejumlah negara. Itu artinya, strategi non-kooperatif sangat menentukan keberhasilan sebuah perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa.

Selanjutnya, kita juga perlu memahami dan menafsirkan konsep jihad secara kontekstual dan kritis. Jihad secara terminologi tidak harus selalu mengacu pada makna peperangan fisik melawan musuh dengan senjata. Jihad juga bermakna perjuangan non-fisik seperti mendayagunakan akal pikiran untuk mencapai sebuah tujuan.

Bahkan, Rasulullah pernah mengatakan bahwa jihad paling berat adalah menahan diri dari hawa nafsu negatif. Itu artinya, jihad memiliki makna yang multitafsir tidak selalu harus dipahami sebagai pernah fisik atau unjuk kekuatan militer.

Dari pemahaman itu, kita bisa menyimpulkan bahwa mengkritisi fatwa jihad IUMS tidak dapat diartikan sebagai menormalisasi penjajahan. Para pengkritik fatwa jihad IUMS juga bukan antek Yahudi atau penyokong zionisme.

Mengkritisi fatwa jihad IUMS adalah upaya mencari jalan tengah untuk memperjuangkan kedaulatan Palestina dan menjaga stabilitas dan keamanan bangsa sendiri. Mengkritisi fatwa jihad IUMS itu penting, lantaran sejumlah alasan.

Pertama, sebagai lembaga independen, IUMS sebenarnya dari sisi hukum Islam tidak berhak mengeluarkan fatwa jihad. Dalam perspektif hukum Islam, yang berhak mengeluarkan fatwa jihad adalah otoritas pemerintahan atau negara yang sah. Itu pun harus melalui mekanisme yang melibatkan banyak pihak, terutama perwakilan ulama dan umat itu sendiri.

Keputusan IUMS untuk menyerukan jihad melawan Israel ke seluruh umat Islam adalah sebuah tindakan yang melampaui wewenang negara. Hal itu berpotensi menimbulkan distorsi pada otoritas pemerintahan atau negara yang sah.

Kedua, fatwa jihad IUMS rentan ditunggangi oleh kelompok radikal teror. Fatwa jihad ke Palestina ini rawan digunakan sebagai alat untuk memobilisasi foreign terrorist fighter oleh sel-sel teroris lokal yang sampai saat ini masih aktif. Fatwa jihad IUMS berpotensi menimbulkan gelombang radikalisasi baru yang mengancam dunia Islam itu sendiri.

Ketiga, fatwa jihad IUMS rentan menimbulkan gejolak politik kawasan. Bisa dibayangkan jika warga sipil dari negara-negara Islam berbondong-bondong ke Palestina, tanpa kemampuan dasar militer yang memadai. Mereka rawan menimbulkan problem sosial dan kemanusiaan. Bahkan bukan tidak mungkin mereka justru akan mengganggu stabilitas nasional dan keamanan politik kawasan.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa tudingan kaum konservatif yang menganggap kelompok yang kritis pada fatwa jihad IUMS sebagai pro penjajahan Israel adalah tudingan tidak berdasar.

Problem Palestina dan Israel adalah problem kompleks yang tidak bisa disederhanakan ke dalam bingkai konflik antar-agama. Sedangkan jihad adalah terminologi yang kadung melekat pada ajaran Islam. Kita perlu merumuskan pendekatan holistik dan multipolar untuk mengurai problem Palestina.

Pendekatan holistik itu meliputi penguatan diplomasi kemanusiaan untuk menggalang dukungan internasional terhadap Palestina.  Dalam konteks ini, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya telah melakukan apa yang disebut sebagai multi-track diplomasi. Yakni diplomasi dengan mengoptimalkan beragam jalur, baik resmi maupun resmi, serta melibatkan organisasi non-pemerintah.

Di forum-forum resmi seperti sidang PBB, pertemuan Organisasi Negara Islam (OKI) dan sebagainya, perwakilan pemerintah Indonesia selalu aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina. Tidak hanya itu, organsisis non pemerintahan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga aktif menjalin diplomasi kemanusiaan untuk membela kepentingan Palestina.

Arkian, sampai kapan pun umat Islam dan masyarakat Indonesia akan tetap membela kedaulatan Palestina. Lantaran hal itu merupakan amanat konstitusi. Meski demikian, Indonesia sebagai negara berdaulat tentu memiliki strategi dan prinsip sendiri untuk menunjukkan keberpihakannya dalam isu Palestina.

Pemerintah Indonesia tidak bisa dengan mudah disetir oleh fatwa lembaga non pemerintahan. Apalagi jika fatwa itu menyerukan pada jihad fisik yang justru membahayakan keamanan dan stabilitas politik nasional.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

21 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

21 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

21 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

2 hari ago