Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari setidaknya dua perspektif. Pertama, fatwa itu kiranya merupakan respons atas meningkatnya eskalasi kekerasan oleh Israel terhadap warga Gaza dan Palestina secara umum.
Kedua, fatwa jihad ini cenderung mensimplifikasi alias menyederhanakan konflik di Palestina semata menjadi isu keagamaan. Padahal, seperti kita tahu, konflik di Palestina itu komplek. Tidak hanya dilatari isu agama, namun juga politik, sejarah, ekonomi, ideologi, dan sebagainya. Penggunaan kaya jihad terkesan menarik isu Palestina ke urusan agama (Islam saja).
Maka, tidak mengherankan jika kemunculan fatwa ini lantas menimbulkan semacam problem dan polemik di internal Islam sendiri. Beragam penolakan muncul. Salah satu yang paling keras justru datang dari Lembaga Fatwa Mesir yang menganggap fatwa itu berpotensi menimbulkan kekacauan kawasan bahkan global.
Bagi umat Islam Indonesia, fatwa ini tentu harus diapresiasi secara kritis. Artinya, kita patut mendukung fatwa jihad melawan Israel. Namun, di saat yang sama kita wajib memahami fatwa jihad ini dari dua sudut pandang atau pendekatan.
Pertama, fatwa jihad melawan Israel harus dipahami dalam perspektif stabilitas nasional dan kawasan. Dalam konteks stabilitas nasional, keamanan dan ketertiban sosial itu menjadi variabel utama yang tidak dapat ditawar. Maka, segala narasi yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional dan kawasan patut dianggap sebagai ancaman dan wajib ditolak.
Jika dibaca dari perspektif ini, jelas bahwa fatwa jihad melawan Israel yang dalam fatwa IUMS cenderung mengarah pada makna peperangan atau kekerasan adalah ancaman serius bagi stabilitas nasional dan kawasan. Bagaimana tidak? Dalam Islam, jihad adalah fardu ain alias kewajiban bagi tiap muslim dewasa.
Padahal, seperti kita tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim. Bisa dibayangkan kekacauan yang akan terjadi jika seluruh umat Islam Indonesia pergi ke Palestina untuk ikut berperang. Belum lagi ancaman penyebaran ideologi radikal ekstrem ketika para kombatan perang itu kembali ke Indonesia.
Kedua, dari sisi geopolitik global, fatwa jihad melawan Israel ini juga berpotensi menimbulkan gejolak kawasan dan internasional. Kita patut belajar dasi revolusi Suriah (2011-2025) yang melibatkan banyak negara, mulai dari Amerika Serikat, Iran, Yordania, Rusia, dan sebagainya.
Keterlibatan banyak negara di dunia dalam perang antar saudara di Suriah dalam banyak hal telah menimbulkan gejolak geopolitik global. Gejolak itu berdampak tidak hanya dari sisi politik kawasan dan internasional, namun juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Hal yang sama kemungkinan besar bisa terjadi jika negara-negara muslim terlibat dalam intevensi militer di Palestina. Keterlibatan negara-negara muslim dalam konflik Palestina berpotensi memicu gejolak politik kawasan, terutama di Arab atau Timur Tengah, bahkan gejolak geopolitik global.
Intervensi militer negara-negara muslim di isu Palestina rawan menimbulkan masalah dan perpecahan baru di dunia Islam itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan berkunjung ke sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yordania beberapa hari terakhir ini, salah satunya merupakan upaya diplomatik dalam isu Palestina.
Penggunaan kata jihad dalam fatwa IUMS rawan disalahpahami, baik oleh umat Islam maupun komunitas internasional. Di internal Islam, konsep jihad kerap disalahgunakan oleh kaum konservatif radikal. Jihad dengan sembrono kerap dijadikan alat legitimasi ubruk membenarkan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda. Dengan label jihad, perilaku kekerasan jadi tampak suci dan sesuai dengan ajaran agama.
Sedangkan bagi komunitas internasional, terminologi jihad juga kadung berkonotasi negatif. Bagi komunitas internasional, kata jihad kadung identik dengan fenomena terorisme. Hal ini menimbulkan semacam trauma historis dan psikologis. Artinya, fatwa jihad yang dikeluarkan oleh IUMS ini justru berpotensi menggembosi dukungan komunitas internasional terhadap Israel yang sudah terbangun selama ini.
Lebih spesifik dalam konteks Indonesia, isu Palestina tetap harus dipahami dalam koridor kebangsaan. Secara konstitusional, model politik luar negeri kita adalah bebas aktif. Yaitu mengedepankan pendekatan diplomasi yang mendorong negara lain mempertahankan kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasionalnya dengan tetap menjalin kerjasama dan kemitraan dengan berbagai negara tanpa mengambil sikap yang ekstrem.
Politik luar negeri bebas aktif tidak membuka ruang bagi pemerintah untuk ikut campur urusan militer negara lain. Ini artinya, secara konstitusional Indonesia mustahil melibatkan diri dalam aliansi militer negara-negara Islam sebagaimana diserukan oleh fatwa IUMS.
Langkah diplomasi untuk memperjuangkan kedaulatan Palestina memang panjang dan berliku. Namun, harus diakui hasilnya mulai tampak. Banyak negara Barat kini telah mengakui Palestina sebagai negara yang sah dan berdaulat.
Padahal, sebelumnya mayoritas negara Eropa tidak mengakui keberadaan Palestina sebagai negara. Kemajuan itu merupakan hasil perjuangan diplomasi yang panjang. Jangan sampai, diplomasi yang mulai membuahkan hasil itu justru dirusak oleh residu fatwa IUMS yang menyerukan jihad fisik melawan Israel.
Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…
Pada April 2025, Internasional Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi para ulama dan cendekiawan…
Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh…
Organisasi internasional yang menaungi ulama Muslim di berbagai belahan dunia International Union of Muslim Scholars…
International Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi dari ulama muslim dari perwakilan negara yang…
Suara takbir menggema di ruas-ruas jalan di berbagai negara di dunia. Nama Gaza dielu-elukan sebagai…