Narasi

Al-Qur’an Sebagai Teologi Perdamaian

Kelindan keislaman selalu saja dibarengi dengan keselarasan terhadap pola pikir yang terangkum dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada sajak yang sama, cita-cita Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945 dan bahkan Pancasila juga memiliki nafas yang sama untuk menciptakan peradaban madani. Senada dengan itu, cita-cita keislaman pada hakikatnya berjalan seiring dengan cita-cita kemanusiaan. Karena itulah, cita-cita keislaman di Indonesia, tentu saja memiliki prinsip yang semakna dengan cita-cita masyarakat Indonesia (Nur Kholis Majid: 2006). Hanya saja, iktikad dari cita-cita demikian pada kenyatannya tak bisa disentuh secara seksama, sebab kedamaian selalu saja tercederai oleh radikalisme yang telah menjamur di negeri ini.

Beranjak dari ironisme demikian, diperlukan beragam hal guna mewujudkan perdamaian baru lewat idealitas-idealitas kebangsaan yang tanpa disadari telah menghilang. Karena itulah, hakikat kemanusian yang senantiasa mendambakan perdamaian acap kali terkoyak akibat prinsip-prinsip bengkok yang jauh dari naluri kemanusiaan. Bahkan untuk sejauh ini, transformasi idealisme yang digaungkan untuk selalu berkiblat pada haluan keamanan dan kenyamanan juga terhalangi oleh tembok besar yang dinamakan terorisme. Dengan beragam faham yang dimilikinya, kebengisan-kebengisan yang telah dilakukan selalu saja terbayang dengan mengatasnamakan jihad untuk memperoleh keelokan hidup di masa depan.

Meski beragam ancaman, hujatan, bahkan perlawanan telah dikerahkan guna meredamkan kejahatan demikian. Namun perlawanan itu justru seolah tampak sia-sia, karena regenerasi paham radikal yang tak bisa dihindarkan. Itulah mengapa, al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan harus segera ditampakkan agar reduksi cara pandang bengkok bisa segera diluruskan. Kampanye ayat-ayat kedamaian juga harus selalu ditegakkan mengingat ideologi buram selalu mewarta lewat narasi-narasi hitam. Sebab Adolf Hitler mengatakan bahwa kebohongan yang diulang secara terus-menerus, maka tanpa sengaja pikiran manusia akan menerimanya.

Demikianlah, teori propaganda pandangan Adolf Hitler yang kerap kali disapa tatkala kebohongan itu senantiasa meracau pada benak manusia. Sebab metode pengulangan adalah  hypnosis. Metode yang tanpa sengaja menyebabkan banyak manusia mengukir pada pola pikir yang sesungguhnya. Dan karena itulah, kebohongan-kebohongan demikian harus senantiasa dilawan agar tak menyebar pada kalangan awam. Dan salah satu pola penyebaran yang menjadi azimat paling memadai adalah melalui media maya. Akses media maya yang tak pernah tertutup bagi semua generasi menyebabkan konten-konten buram semakin jelas menyekam. Bagai memberi minyak di atas api, konten-konten itu dengan sendiri terbaca dan terpola pada benak-benak manusia. Dan tanpa sadar daur ulang itu terjadi kemudian beregenerasi.

Teologi Perdamaian

Sudah saatnya, gerakan kontra propaganda itu digalakkan. Lewat ayat-ayat perdamaian, perlawanan harus senantiasa digaungkan. Selain untuk memberi pelajaran pada masayarakat agar waspada terhadap narasi-narasi buram. Kontra propaganda juga akan meningkatkan kecerdasan masyarakat, sebab secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk membanding-bandingkan kabar berita yang diterima. Lebih jauh lagi, setidaknya hal demikian juga sedikit banyak akan mengobati rasa haus masyarakat akan kemurnian kemanusiaan yang dimiliki. Pun hal itu juga akan membangun pola pikir baru terhadap kepekaan masyarakat tentang kemanusiaan yang seharusnya dibangun dan/atau ditumbangkan.

Terlepas dari idealisme demikian, pembangunan cara berpikir memadai yang mengatasnamakan solidaritas, kepentingan bersama, kebhinekaan dan perihal penting yang senafas dengan cita-cita kebangsaan juga harus segera diwujudkan. Dan seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa semua itu telah terangkum dalam al-Qur’an. Hakikat al-Quran yang tak bisa dilepaskan dari naluri cara berpikir jernih, nilai-nilai ketuhanannya harus dieksplorasikan agar menjadi budaya yang beradab dan bermartabat. Idealisme al-Quran yang sesungguhnya mengandung teologi perdamaian juga harus dikerahkan agar bisa difahami dan diamalkan isi-isinya. Sebab itulah, Nur Rohman Syarif dalam teologi perdamaian menyebutkan enam pilar yang harus diwujudkan, tatkala menginginkan cita-cita keislaman dan keindonesiaan terwujud.

Pertama, umat beragama harus menerima secara ikhlas tentang perbedaan antar sesama. sebab perbedaan bukanlah ironisme yang harus diselaraskan. Namun sesungguhnya itu adalah kekayaan yang patut dipertahankan. Kedua, tidak adanya intimidasi dan pemaksaan dalam beragama. Ketiga, tidak boleh ada hina-menghina antar sesama. Baik dalam wujud etnis, suku, agama, bahasa dan lain sebagainya. Keempat, tidak adanya upaya saling sesat menyesatkan antar perbedaan golongan dalam berkeyakinan. Kelima, tentang urusan keselamatan di akhirat, tidak pelu diajadikan perdebatan sengit hingga memicu perkelahian. Sebab itu adalah hak preogrative Tuhan. Keenam, semua umat harus menjunjung tinggi nilai kebangsaan dan kemanusiaan universal, sebab semua manusia sama dihadapan Tuhan kecuali taqwa yang diunggulkan.

Berangkat dari keenam teologi perdamaian itulah, Islam secara patut telah mengajarkan nilai-nilai yang termaktub dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pesan pertama dan terakhir sesungguhnya termaktub dalam Qs. al-Hujurat: 13. Pembahasan demikian sedikit banyak menjelaskan tentang kenyataan kebhinekaan ciptaan Tuhan, dan sebaik-baik manusia adalah  orang yang bertaqwa. Senada dengan itu, meski dalam Qs. Ali Imron: 19 menyebutkan bahwa agama yang paling benar adalah Islam, namun Islam juga tidak pernah mengajarkan pemaksaan terhadap agama. Qs. al-Baqarah: 256 adalah bukti bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama. Namun yang ada hanyalah kewajiban untuk berdakwah dengan tanpa paksaan.

Bahkan senafas dengan itu, Qs. al-Kafirun: 6  juga telah jelas menjelaskan tentang prinsip keberimanan yang harus dimiliki setiap orang. Begitupun Qs. al-An’am: 108 juga melarang secara nyata untuk tidak menghina sesembahan dan keyakinan yang dimiliki orang lain. Sebab hal demikian hanya akan menyulut peperangan yang hanya menghasilkan pertumpahan darah semata. Beranjak dari beberapa ayat perdamaian di atas, sudah semestinya ayat perdamaian disenandungkan, selain sebagai narasi kontra propaganda, ayat-ayat demikian juga tidak menutup kemungkinan akan mengisi pola pikir masyarakat. Hingga akhirnya, kejernihan pola pikir bisa tercipta dan wujud keadaban universal bisa dihadirkan pada arena perdamaian yang kita rindukan. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Moh Nurul Huda

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

5 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

5 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

5 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

5 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago