Narasi

Al-Qur’an sebagai Hudan Linnas

Peristiwa-peristiwa perang atau konflik dalam sejarah umat Islam disebabkan karena politisasi terhadap al-Quran dan ayat-ayat di dalamnya. Peristiwa arbitrase, perang antara sahabat Ali dan Aisyah, kemudian perpecahan tubuh umat hingga lahir syiah, khawarij, mu’tazilah, dan seterusnsya. Konflik internal umat Islam saat itu merupakan konflik politik identitas, namun sayangnya para penguasa saat itu menjadikan dalil-dalil al-Qur’an sebagai legitimasi ideologis.

Konflik antar identitas dari yang awalnya berbentuk rivalitas politis berubah menjadi perang pemahaman teologis. Hampir setiap kelompok mengedepankan nalar ideologis yang kaku, tertutup, dan menganggap sendiri paling benar. Lantas masing-masing golongan mencari dalil-dalil pendukung untuk memperkuat ideologinya, dan mencari-cari kekeliruan serta penyimpangan dari golongan lain. Demikian itulah awal kenapa saling tuduh kafir dan sesat terjadi, karena konflik politik dibumbui dengan mempolitisir keyakinan beragama.

Nalar ideologis masing-masing golongan menjadikan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an jadi beragam. Al-Qur’an akhirnya terlepas dari misi ‘suci’ untuk memperbaiki standar moral kemanusiaan. Tafsir al-Qur’an pada masa konflik antar berbagai golongan (syiah, hawarij, dst) sebatas disesuaikan berdasarkan kebutuhan kelompok tertentu, jauh dari misi sebenarnya.

Padahal al-Qur’an membawa standar moral dan kemanusiaan. Al-Qur’an diajarkan kepada umat sebagai petunjuk untuk saling menjaga perdamaian dan meninggalkan peperangan. Namun, ditangan orang-orang tidak bertanggung jawab al-Qur’an justru dijadikan sebagai legitimiasi kekuasaan, melanggengkan kebijakan, dan memberikan tuduhan yang keliru kepada orang lain.

Akhirnya, ayat-ayat ‘jihad’ dimaknai keliru. Ayat-ayat tentang ‘Qatlu’ dipahami keliru pula. Jihad dimaknai sebagai bentuk perjuangan ideologis, sehingga lahir tindakan intoleran, terorisme dan radikalisme. makna ‘Qatlu’ (membunuh) dipahami salah kaprah, ketemu orang asal beda dibunuh, berbeda pandangan ditikam, berbeda pilihan politik dihilangkan nyawanya. Kekeliruan-kekeliruan ini merusak makna perdamaian dalam al-Qur’an. Padahal ‘jihad’ adalah bentuk perjuangan, melawan ketidakadilan, menegaskan kesetaraan, memperjuangkan perdamaian dan kerukunan antar manusia. begitu pula istilah ‘Qatlu’, bukan asal membunuh orang seenaknya sendiri, ia bermakna usaha untuk melawan nafsu keserakahan, membunuh segala bentuk tindakan intoleran, karena sesungguhnya al-Qur’an hanya mengajarkan cara-cara hidup damai bukan pertengkaran.

Maka, sudahi mencari dalil-dalil politik dalam al-Qur’an. Tidak ada ayat-ayat tentang strategi politik kekuasaan dalam al-Qur’an. Dalil-dalil dalam al-Qur’an merupakan dasar-dasar perdamaian. jika ingin berpolitik dengan berdasar pada al-Qur’an, maka dasarkan pada pada cara-cara yang ‘ma’ruf’, cara yang baik, santun, dan toleran. Keliru jika mencari dalil-dalil politik dalam al-Qur’an tentang cara menjatuhkan lawan, tidak ada satupun, kecuali dalam al-Qur’an ada dalil tentang tujuan pentingnya persatuan dan kesatuan. Apa sebenarnya pesan dibalik itu, al-Qur’an mengandung pesan, bahwa tidak ada larangan berpolitik, karena memang kita diciptakan berbeda-beda, tapi jangan jadikan perbedaan itu saling menjauhkan kita dari rasa saling pengertian.

Perlu diketahui perbedaan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an itu wajar. Al-Qur’an menjumpai konteks dan zaman yang berbeda-beda. Tafsirnya pun sudah dipastikan berkembang dan berubah. Hal itu sesuai dengan pesan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia untuk setiap zaman dan peradaban. Namun perbedaan penafsiran al-Qur’an yang bercorak ideologis biasanya cenderung bersifat memecah persatuan kesatuan umat. Tafsir yang coraknya politis itu gampang dicurigai. Jika ada produk tafsir al-Qur’an yang isinya menjatuhkan, mengumpat, dan mengolok orang lain, bisa dipastikan ada kekeliruan di sana atau telah sengaja digunakan oleh kalangan tertentu untuk kepentingan yang sudah dibuat.

Kekhawatiran yang mesti diwaspadai adalah penggunaan ayat-ayat al-Qur’an secara politis. Ada kalangan tertentu sukanya memotong-motong ayat, mencocok-cocokkan ayat dengan kepentingan identitas. ayat yang tidak seharusnya bicara soal politik dipaksa bicara politik, ayat yang sama sekali tidak berkepentingan apapun dibuatnya menjadi berkepentingan ideologis. Ini perlu diwaspadai oleh masyarakat beragama, adanya potongan-potongat tafsiran ayat al-Qur’an yang dipersalahgunakan maknanya. Jika penyalaghunaan ayat al-Qur’an untuk kepentingan politik praksis bisa berbahaya bagi toleransi dan kerukunan umat beragama. Karena semua orang tau pasti, bahwa kontestasi politik itu sifatnya kejam, ia tidak pandangan kawan ataupun seperguruan, jika lawan politik pasti dilawan dengan cara-cara apapun.

Bicara kontestasi politik yang sehat, mestinya beradu program kerja. Bukan beradu keyakinan, siapa yang paling alim, atau merasa paling dekat dengan Tuhan. Cara berpikir politik menggunakan segala cara itu keliru, apalagi memakai sarana agama. Kerja politik adalah kerja pelayanan publik. Maka kontestasi politik harusnya memberikan hal-hal kongkrit tentang pelayanan dan kebutuhan publik masyarakat. Bukan malah membuat abstraksi berupa janji-janji kampanye, apalagi membangun narasi surgawi atas kepentingan politik tertentu.

Tetap biarkan iman berada dalam koridornya. Biarkan agama sebagai pondasi standar moral kemanusiaan dan akhlak. Biarkan al-Qur’an dalam posisinya menjadi petunjuk yang benar. Jika ingin berkontestasi jadikan al-Qur’an sebagi inspirasi perdamaian, sumber strategi kebijakan, dan spirit perjuangan ke depan. Jangan kebalik menjadikan al-Qur’an sebagai alasan untuk memerangi atau menghina kelompok atau orang lain, al-Qur’an tidak pernah mengajarkan demikian.

Ingat, al-Qur’an bukan kitab politik, tetapi kitab perdamaian. al-Qur’an hadir bukan untuk kepentingan politik, tapi untuk kepentingan kemanusiaan. Adanya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia merupakan untuk memperbaiki dunia dari kerusakan. Kehadiran al-Qur’an merupakan misi ketuhanan demi terciptanya perdamaian dunia. Al-Qur’an itu hadir untuk mengakhiri peperangan, solusi bagi ketidakrukunan antar kehidupan beragama, dan jawaban terakhir tentang mulianya solidaritas antar manusia di dunia.

 

This post was last modified on 13 Juli 2018 12:39 PM

Febri Hijroh Mukhlis

Alumni pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pendiri Yayasan Umm al-Bilaad

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago