Kebinekaan adalah suatu fakta tak terbantahkan dari bumi Nusantara. Hampir tidak ada negeri yang melebihi Indonesia dari segi pluralitas budaya, etnis, bahasa, agama dan keyakinan. Pluralitas ini jika dikelola dengan baik, dan berjalan pada rel yang semestinya, maka akan melahirkan bangsa dan negara ideal.
Pembangunan adalah upaya menuju bangsa dan negara ideal itu. Proses untuk selalu menuju kepada titik idealitas berupa kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan keadilan –selalu menjadi tugas bersama, terutama pemerintah.
Selama ini manusia selalu dijadikan objek pembangunan (development). Suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan per-kapita warga dengan ukuran dan standar tertentu. Padahal, ada hal yang paling substansial yang perlu dibangun, yaitu anti-body manusia terhadap penetrasi ideologi transnasional dan paham-paham radikal lainnya, yang selama ini membuat proses pembangunan menjadi tertatih-tatih.
Untuk itulah, logikanya harus di balik, manusia bukan lagi objek, melainkan harus ditempatkan sebagai subjek, pelaku, dan pelaksana pembangunan. Konsekuensi logika ini, mau tidak mau, seluruh lapisan masyarakat harus ambil bagian dan selalu aktif dalam proses menuju bangsa dan negara ideal itu.
Paham-paham impor secara de facto merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat. Ideologi impor itu terlalu ekstrem: mengharuskan keseragaman, tidak menghargai perbedaan, dan sifatnya yang tertutup. Ideologi semacam ini tidak cocok dengan kondisi sosial Indonesia yang majemuk, banyak perbedaan, dan masyarakatnya yang terbuka.
Bahaya Radikalisme
Salah satu proses pembangunan itu lancar dan tak tersendat-sendat adalah menangkal segala penghalang. Penghalang paling besar dalam konteks sekarang adalah efek samping yang diakibatkan dari bercokolnya ideologi impor itu di kepala anak bangsa. Ia bisa mempengaruhi keyakinan, sikap, dan terlebih-lebih tindakan. Tak jarang, paham-paham impor itu menjurumuskan generasi bangsa ini ke dalam jurang radikalisme.
Dengan keyakinan bahwa hanya agama dan pihaknya saja yang paling benar dan selamat, sementara pihak lain sesat, proses saling memberdayakan menuju cita-cita ideal suatu bangsa dan negara menjadi tertatih-tatih.
Virus intoleransi yang tidak mau bekerjasama dan mangakomodir yang lain mengakibatkan terjadinya polarisasi, perpecahan, bahkan dalam level tertentu, konflik. Jika sudah terjadi seperti ini, roda negara menuju bangsa yang aman, damai, dan sejahtera, hanya berjalan di tempat.
Pun demikian dengan sikap. Takfirisme yang menyesat-kafirkan golongan yang tak sepaham dengannya; me-neraka-kan pihak yang tak sesuai dengan manhajnya; serta memonopoli kebenaran, menjadi penghalang besar dalam proses pembangunan dan mewujudkan cita-cita bersama.
Paling berbahaya adalah pengaruh langusng pada tindakan, yang malahirkan tindakan terorisme, berupa pembunuhan, pengeboman, menyebar ketakutan, dan menghilangkan nyawa orang. Terorisme menimbulkan kekacauan. Manusia tak bisa bekerja sama. Saling curiga dan saling menuduh tak terelakkan. Akibatnya, pembangunan juga tersendat-sendat.
Komitmen Kebangsaan
Tenaga yang kita miliki akibatnya terkuras untuk mengurusi penghalang-penghalang pembangunan itu. Untuk itu tak ada cara lain agar paham-paham impor itu ditangkal. Virus khilafaisme, takfirisme, radikalisme agama, ideologi negara Islam, harus ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh. Biar proses pembangunan baik fisik maupun non-fisik berjalan lancar dan mulus.
Usaha untuk menangkal paham-paham imopor itu adalah dengan cara kembali kepada komitmen kebangsaan. Anak bangsa harus sadar, bahwa ia hidup dan mati di tanah yang ia dilahirkan, dibesarkan, dan menghirup udara segar, yakni Indonesia. Indonesia adalah rumah bersama, milik bersama. Jangan sampai digadaikan untuk kelompok tertentu yang ingin merubah negeri ini.
Kesadaran ini penting. Sebab, dengan kesadaran inilah setiap anak bangsa bisa dengan suka rela tanpa paksaan, mau menjaga dan merawat NKRI ini. Rasa memiliki dengan sendirinya akan timbul. Indonesia dan segala turunannya adalah milikku, laiknya tubuhku yang harus saya jaga.
Nilai-nilai kebangsaan, berupa persatuan, gotong-royong, toleransi akan bisa diinternalisasi jika sebelumnya sudah ada kesadaran akan tanah air. Keragaman Nusantara adalah nikmat, perbedaan suku dan bahasa adalah anugerah.
Kesadaran akan satu tanah air, satu bangsa, dan satu tumpah darah adalah modal yang pas untuk menangkal radikalisme. Dengan kesadaran, bahwa orang lain adalah saudara sesama bangsa, maka tindakan untuk mencederai persatuan akan terhenti.
Bentuk wawasan kebangsaan bisa diwujudkan dengan lebih membumikan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan sehari-hari. Pancasila sebagai titik temu dan titik tuju bersama menjadi karangka acuan yang harus dijadikan oleh anak bangsa sebagai pijakan dalam bersikap, bertindak, terlebih dalam kehidupan lintas anak bangsa.
This post was last modified on 3 Februari 2021 3:32 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…