“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya. Tidak penting apa agama atau sukumu, jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, niscaya orang tidak pernah bertanya apa agamamu”. Itulah cuplikan kalimat mendiang Gus Dur yang selalu berulang kali dikutip dalam banyak kesempatan. Dan, sekali lagi kalimat itu kiranya relevan dihadirkan lagi dalam konteks kekinian, ketika isu intoleransi dan rasisme tengah mencuat ke ruang publik kita dalam hari-hari belakangan ini. Mencuatnya kasus rasisme terhadap Natalius Pigai merupakan tamparan keras bagi masyarakat Indonesia. Setelah tujuh dekade lebih kita merdeka dan dua dekade lebih menikmati era Refomasi nyatanya kita masih saja terjebak dalam nalar primitif yang memecah belah dan mengancam persatuan bangsa.
Reformasi yang digadang melahirkan tata kehidupan sosial dan politik yang demokratis dan egaliter memang belum sepenuhnya menunjukkan hasil optimal. Di awal era Reformasi, tenun kebangsaan kita bahkan sempat terkoyak oleh berbagai konflik rasial yang terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Konflik berdarah yang menelan banyak korban jiwa dan harta itu tidak pelak telah menimbulkan luka dan trauma sejarah bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, kita perlu mencegah setiap potensi munculnya konflik sosial, termasuk yang dilatari oleh maraknya sentimen rasisme.
Paham rasisme sangat berbahaya jika dibiarkan berkembang di Indonesia lantaran setidaknya dua hal. Pertama, kondisi Indonesia sebagai negara yang plural dan multikultural sangat rawan dengan adanya benturan sosial. Kedua, cara pandang rasistik yang lebih menonjolkan keunggulan ras sendiri sembari mendeskreditkan ras lain merupakan benih munculnya sikap intoleran yang berujung pada terciptanya segregas sosial.
Rasisme memang seringkali hanya berupa ujaran verbal atau ucapan yang bernada merendahkan. Namun, lama kelamaan, ujaran verbal itu akan meningkat menjadi diskriminasi yang lebih bersifat struktural. Puncaknya, rasisme akan mendorong manusia melakukan tindak kekerasan terhadap ras lain yang dianggap inferior. Sejarah mencatat, rasisme telah melatari berbagai tragedi kemanusiaan mulai dari kolonialisme Eropa dan Amerika pada abad ke 18-19, politik apartheid di Afrika Selatan hingga tragedi Hollocaust dan genosida ras dan etnis lain yang terjadi di banyak negara di dunia. Kita tentu tidak ingin NKRI terkoyak oleh sentimen rasisme apalagi sampai berujung pada pecahnya konflik sosial seperti di awal era Reformasi.
Dalam hal ini, kita patut mewaspadai adanya gejala perpecahan yang biasanya mewujud pada setidaknya tiga ciri. Pertama, social disunity yakni runtuhnya persatuan dan kesatuan bangsa akibat berbagai bentuk pertikaian, permusuhan dan konflik multidimensi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Kedua, social disconnection yakni terputusnya rantai-rantai hubungan sosial antara suku, agama dan ras yang sebelumnya telah menyatukan berbagai komponen masyarakat yang plural. Terakhir, social deteritorialisation yakni sebuah proses sosial yang mengisyaratkan kelompok-kelompok masyarakat berupaya untuk menggugat dan membongkar peta teritorial (politik, ekonomi, dan budaya) serta merebut ruang-ruang sosial (social space).
Implementasi Falsafah Bhineka Tunggal Ika
Demokratisasi ruang publik apalagi yang terjadi di era disrupsi digital ini idealnya harus dibarengi dengan konsolidasi di level masyarakat akar rumput. Terutama menyangkut bagaimana kemajemukan itu dikontestasikan sekaligus dikomunikasikan dalam bingkai kesetaraan yang mengedepankan harmoni, alih-alih segregasi. Arus deras segregasi sosial yang mewujud pada praktik intoleransi dan rasisme harus dibendung sedemikian rupa agar tidak bereskalasi menjadi ancaman serius bagi kebinekaan bangsa. Langkah pertama yang penting untuk kita lakukan dalam hal ini ialah membongkar nalar pikir yang didasari oleh logika opoisi biner (binary opposition).
Logika oposisi biner dalam relasi sosial ini berbahaya karena mendikotomikan masyarakat ke dalam dua kelompok, yakni kami-kita dan mereka-kalian. Corak komunikasi yang lahir dari logika oposisi biner ini pun cenderung hanya satu arah dan kerapkali diwarnai oleh kecurigaan, prasangka bahkan kebencian. Di sinilah ruang yang subur bagi berkembangnya praktik intoleransi dan rasisme terutama yang masih bersifat verbalistik.
Langkah kedua ialah mendekonstruksi relasi sosial yang bertumpu pada logika mayoritanisme, yakni menempatkan kelopok mayoritas sebagai penguasa dominan dan memposisikan kaum mayoritas dalam posisi subordinat. Marjinalisasi kaum minoritas dalam berbagai bentuknya akan kian mempertebal sekat sosiologis-ideologis yang memang sudah tampak dalam masyarakat yang multikultur seperti Indonesia.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah mengimplementasikan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam seluruh dimensi kehidupan, mulai sosial, politik, ekonomi hingga agama. Harus diakui bahwa selama ini, Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi semboyan dan slogan yang indah dalam imajinasi namun miskin impelementasi. Penting untuk membangun kesadaran publik bahwa Bhineka Tunggal Ika bukanlah semata semboyan atau slogan, melainkan sebuah filosofi yang idealnya menjadi landasan kita dalam berrelasi, berinteraksi dan berkomunikasi dalam ruang sosial yang plural dan heterogen.
This post was last modified on 3 Februari 2021 3:31 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…