Narasi

Apa Dampak Buruk Konten Peperangan di Media Sosial pada Remaja?

Perang Iran dan Israel akhir-akhir ini tidak hanya berdampak pada situasi geopolitik global, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan paparan konten kekerasan di media sosial terhadap anak-anak. Perlindungan anak di ruang digital harus semakin diperkuat.

Banyak video, gambar, dan narasi mengerikan tentang korban sipil, serangan udara, serta kekacauan di wilayah konflik beredar luas di berbagai platform digital. Konten-konten tersebut rawan dikonsumsi oleh anak-anak jika tanpa pendampingan orang dewasa.

Psikolog Klinis dari Universitas Gadjah Mada, Pamela Andari Priyudha, menyitir dari Kompas (2025) mengatakan, seorang dewasa yang menyaksikan berita-berita buruk secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang mengalami ketegangan psikologis yang kronis dan kolektif, apalagi anak-anak yang belum mengerti banyak hal.

Dia menjabarkan, konten kekerasan bisa memunculkan perasaan takut, khawatir, bingung dalam diri anak. Hal ini berpotensi menjadi sumber luka atau trauma yang mendalam pada diri anak. Bisa jadi anak akan berpersepsi bahwa dunia ini tidak aman, lalu sulit tidur, mimpi buruk, muncul perasaan cemas yang berkepanjangan, dan kesulitan psikologis lainnya.

Selain itu, perasaan apatis anak lama-kelamaan akan tumbuh karena mereka terbiasa melihat kekerasan dan merasa bahwa perang adalah hal yang lumrah. Tidak lagi muncul rasa empati terhadap korban kekerasan atau perang.

Keresahan ini relevan dengan temuan Pusat Media Damai (2024) bahwa anak remaja memang tidak tertarik terhadap aksi kekerasan fisik dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi mereka masih “menikmati” konten kekerasan seperti tawuran remaja yang tersaji di media sosial.

Ketika dihadapkan pada pernyataan “Saya tertarik dengan konten yang menampilkan tawuran antar pelajar di media sosial”, soal lebih dari 69% responden menunjukkan ketertarikan terhadap konten yang menampilkan tawuran antar pelajar. Fenomena ini patut mendapat perhatian mengingat dampak potensial dari paparan konten semacam ini terhadap sikap dan perilaku remaja.

Penelitian Anderson & Dill (2000) telah menunjukkan hubungan antara paparan media kekerasan dengan peningkatan agresivitas pada remaja, meskipun efek ini tidak selalu bersifat langsung. Sebagian besar siswa mungkin tidak mendukung kekerasan dalam kehidupan nyata, tetapi ketertarikan mereka terhadap konten tersebut bisa berfungsi sebagai bentuk normalisasi kekerasan dalam budaya populer.

Salah satu penjelasan yang mendalam untuk fenomena ini bisa ditemukan dalam tesis “media hegemoni” yang dikembangkan oleh Gramsci (1971). Media, khususnya media sosial, sering kali berperan dalam membentuk pandangan dunia dengan memperkenalkan dan menyebarluaskan norma-norma dan perilaku tertentu, termasuk kekerasan. Paparan konten semacam ini bisa menyebabkan normalisasi kekerasan dalam pemahaman remaja tanpa mereka sadari, meskipun mereka secara eksplisit menolak untuk terlibat langsung dalam tindakan tersebut.

Dalam konteks media sosial, fenomena normalisasi kekerasan dapat lebih cepat tersebar. Media sosial, sebagai platform yang memungkinkan distribusi konten dengan kecepatan tinggi, berperan penting dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan narasi-narasi yang memuat kekerasan, termasuk dalam bentuk konten peperangan. Berdasarkan teori media hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci (1971), media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan membangun pemahaman tentang realitas sosial. Dalam hal ini, media sosial berfungsi sebagai agen yang mengkonfirmasi dan memvalidasi norma-norma sosial tertentu, termasuk kekerasan.

Ketika remaja terpapar secara rutin pada konten kekerasan melalui media sosial, mereka secara tidak sadar menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam konten tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa remaja yang mungkin tidak terlibat dalam tindakan kekerasan langsung tetap menunjukkan ketertarikan terhadap konten yang mengandung kekerasan.

Dalam hal ini, meskipun mereka secara eksplisit menentang kekerasan, mereka tetap terpengaruh oleh representasi kekerasan dalam media dan membentuk pemahaman bahwa kekerasan adalah hal yang dapat diterima atau bahkan dibenarkan dalam beberapa situasi.

Penelitian yang mengambil sampel pelajar sekolah menengah atas itu jelas menunjukkan bahwa meskipun mayoritas siswa tidak mendukung kekerasan, mereka masih rentan terhadap konsumsi konten kekerasan di media sosial.

kelompok ekstremis juga dapat memanfaatkan potret konflik dan kekerasan yang beredar di media sosial untuk mengindoktrinasi remaja, terutama di kalangan generasi Z yang lebih rentan terhadap pengaruh digital. Kelompok ekstremis sering kali menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan ideologi mereka, menarik simpati, dan merekrut anggota baru. Dalam hal ini, mereka tidak hanya mendistorsi informasi tetapi juga memperkuat narasi kekerasan dengan menjadikannya sebagai simbol perjuangan atau perlawanan yang sah.

Situasi ini rentan membawa remaja pada fenomena swa-radikalisasi. Atau dalam skenario yang lain, kelompok ekstremis akan memanfaatkan potret kekerasan yang ada di media sosial untuk menggugah emosi remaja dengan terlebih dahulu dipoles dengan narasi-narasi lokal. Mereka kemudian memanfaatkan perasaan ketidakberdayaan dan kemarahan yang muncul untuk mengarahkan remaja ke dalam ideologi mereka.

Misalnya, konten kekerasan yang berkaitan dengan peperangan atau serangan terhadap kelompok tertentu dapat dijadikan sebagai alat propaganda yang menyatakan bahwa kekerasan tersebut adalah bagian dari perlawanan terhadap penindasan atau penjajahan.

Di sinilah titik rawan bagi radikalisasi remaja.

Paparan terhadap konten kekerasan di media sosial tidak hanya dapat memengaruhi psikologis remaja dalam bentuk trauma, tetapi juga berpotensi menjadi pintu gerbang radikalisasi, baik secara mandiri maupun karena eksploitasi oleh kelompok ekstremis.

Ancaman ini menuntut pendekatan yang holistik dan multilateral dengan melibatkan kolaborasi antara orang tua, pendidik, pemerintah, dan pihak media sosial untuk menciptakan platform yang lebih aman bagi generasi muda.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di NTB: Jejak Indoktrinasi Ideologi Kekerasan yang Masih Menjadi Ancaman Nyata!

Kamis, 19 Juni 2025, Densus 88 Anti Teror Polri mengepung sebuah rumah sederhana di tengah…

2 jam ago

Membangun Perdamaian Dunia Berbasis Pancasila, Mungkinkah?

Di tengah dunia yang terus bergolak oleh konflik dan rivalitas geopolitik, gagasan tentang perdamaian sering…

2 jam ago

Israel vs. Iran dan Runtuhnya Mitos “Sesama Muslim”

Dalam sepanjang sejarah republik Indonesia, atau bahkan jauh sebelum NKRI terbentuk— khususnya pada masa Adipati…

3 hari ago

Pola Radikalisasi Berbasis Isu Global; Dari Ujaran Kebencian ke Glorifikasi Kekerasan

Dimana ada kekacauan dan konflik pecah, disitulah kaum radikal bersorak. Bisa dibilang, pihak paling diuntungkan…

3 hari ago

Meninggalkan Narasi Identitas: Langkah Menuju Diplomasi

Konflik geopolitik sering kali dipahami sebagai pertempuran antara negara-negara dengan identitas dan kepentingan yang berbeda.…

3 hari ago

Mewaspadai Medan Pertempuran Ideologis di Tengah Konflik Global

Kita sedang menyaksikan sebuah era yang saya istilahkan sebagai fitnah al-kubra kontemporer, sebuah kekacauan besar…

4 hari ago