Jika kita amati lebih jauh, alur kebebasan di dalam mengkritik atau kebebasan berpendapat di dalam tubuh demokrasi yang ada di negeri ini, seyogianya selalu mengakar ke dalam dua arah. Pertama, kritikan yang membangun. Kedua, kritikan yang menjatuhkan. Keduanya sama-sama bergerak antara pro-kontra. Jika kita ukur dalam kaca-mata objektivitas demokrasi etis, mereka pada hakikatnya berseberangan secara tujuan dan peranan. Tetapi mereka sama-sama bergulir dalam tubuh kebebasan demokrasi.
Keduanya memiliki dua wajah yang berbeda. Yaitu antara optimisme dan pesimisme terhadap kebijakan dan sistem pemerintahan yang saat ini berjalan. Seperti halnya mereka yang optimis, akan melangsungkan dirinya untuk beriktikad membangun kritikan yang membangun. Hal yang semacam itu pula, akan lebih mudah disampaikan dengan cara-cara yang santun, ramah dan penuh dengan kegembiraan. Ada sebuah harapan, agar pemerintah bisa segera memperbaiki celah-celah paling krusial dari kelemahan dan kekurangannya.
Sedangkan mereka yang pesimis, akan selalu memupuk ruang-ruang sosial seperti dunia maya dengan seperangkat buzzer-nya. Dengan menghidupkan beragam argumentasi, kritikan dan bahkan tuduhan-tuduhan yang secara orientasi selalu (menghilangkan kebenaran etis) dari fungsi pemerintahan. Agar sebisa mungkin pemerintahan saat ini selalu berada dalam posisi salah dan buruk. Setiap sistem dan kebijakan pemerintah yang saat ini sedang berjalan, agar sebisa mungkin hancur dan segera digantikan.
Antara kritikan yang menjatuhkan dengan kritikan yang membangun senyatanya mereka sama-sama berlindung dalam ruang kebebasan demokrasi yang sama. Cuman mereka yang benar-benar menonjolkan kebebasan demokrasi yang lebih etis dan konstruktif adalah kritikan yang membangun. Bagaimana secara objektif mereka selalu membangun kesadaran-kesadaran terhadap kesalahan bukan untuk dijadikan bahan untuk menjatuhkan. Tetapi dijadikan bahan untuk dievaluasi dan diperbaiki.
Fenomena Hibrida Kebencian
Kritikan yang membangun, senyatanya jauh berbanding terbalik dengan mereka yang secara orientasi, membangun kritikan dan menguatkan argumentasi untuk terus menjatuhkan. Fenomena ini saya sebut dengan fenomena “hibrida kebencian”. Karena mereka terus berlindung ke dalam wilayah kebebasan demokrasi yang berhak dan wajib mengkritik kebijakan atau sistem pemerintahan yang saat ini sedang berjalan dengan jalan-jalan yang non-etis dan menjatuhkan.
Setiap komentar, argumentasi atau kritikan-kritikan yang mereka bangun dengan berbagai variasi wacana dan metode yang beragam. Namun senyatanya mereka hanya “mencampuradukkan” itu semua ke dalam “sentiment politik” yang senyatanya mereka benci dan tidak peduli terhadap sistem pemerintahan yang saat ini berjalan, sekalipun baik.
Maka sangat etis kiranya jika alur kritikan yang meniscayakan “hibrida kebencian” itu tidak akan membuka ruang-ruang dalam pikiran dan hati mereka untuk mengatakan benar. Karena apa-pun yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini sekali-pun itu bagus, baik dan berharga bagi negeri ini. Mereka tidak akan menghiraukan itu semua. Karena mereka akan selalu menganggap pemerintahan yang saat ini salah dan perlu dihancurkan.
Misalnya, pada Presiden Joko Widodo pada saat melakukan Vaksinasi covid-19 yang disiarkan secara langsung. Mereka yang sedang berada dalam lingkup pesimisme pemerintahan dan penuh dengan kebencian, akan selalu membuat narasi, komentar dan pendapat buruk terhadap Presiden Joko Widodo. Entah beliau diduga membohongi rakyat karena (fitnah) bahwa jarum suntikan itu tidak masuk ke dalam pada saat disuntik. Hanya ada di bagian luar.
Anggapan-anggapan yang semacam ini, pada hakikatnya hanya satu sampel dari semua alur kritikan yang membentuk “hibrida kebencian” terhadap sistem pemerintahan yang dinakhoda oleh Presiden Joko Widodo. Karena begitu banyak dalam sebuah kesempatan lain, beliau selalu dianggap pencitraan, dianggap pemerintahan keji dan otoriter, antek-antek China, komunis, serta dianggap tidak becus di dalam memimpin masyarakat.
Semua komentar yang semacam ini merupakan alur kritikan-kritikan yang senyatanya berada dalam arus (kritikan yang menjatuhkan). Mereka selalu membuat semacam kritikan, argumentasi dan bahkan keluh-kesah yang senyatanya hanya menguatkan ekor “hibrida kebencian” tersebut. Dengan memainkan banyak ranah, wilayah, moment dan kesempatan untuk mengerucutkannya sedemikian rupa agar alur kritikan yang bernuansa kebencian itu benar-benar kuat, kokoh dan menggulingkan sistem dan kebijakan pemerintahan saat ini.
Maka, saya kira hanya orang-orang yang optimis terhadap kebijakan maupun sistem pemerintahan saat ini bisa membangun kritikan santun dan beradab. Karena mereka “mau” dan “rela” mengkritik kesalahan, kekeliruan dan kekurangan pemerintah agar diperbaiki dan dibenahi. Artinya, kebebasan dan hak demokrasi mereka dimanfaatkan untuk menyelenggarakan gotong-royong dan musyawarah-mufakat agar bisa membangun sebuah perubahan.
Tetapi tidak dengan mereka yang sudah tertanam kebencian di dalam dirinya. Mereka akan selalu membangun alur kritik yang menjatuhkan. Membangun “hibrida kebencian” dari berbagai wilayah dan situasi. Semua akan dianggap salah, buruk dan tidak layak. Kebaikan, kebenaran dan prestasi berharga yang dicapai di era pemerintahan saat ini tidak akan diapresiasi. Tetapi, mereka akan terus mencari sisi-sisi kesalahan untuk menjatuhkan dan memproduksi beragama cara yang senyatanya mereka akan tetap bergerak dalam ranah kebencian.
This post was last modified on 17 Februari 2021 11:20 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…