Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan etnis dan keagamaan. Semua komponen bangsa mempunyai peran signifikan dalam proses perjuangan ini. Tidak terkecuali etnis Tionghoa. Sayangnya, peran mereka kurang mendapatkan perhatian, apalagi apresiasi karena selaput kebencian dan anti rasial yang cukup lama mendarahdaging di sebagian masyarakat terhadap etnis Tionghoa.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi penting diutarakan terkait peran mereka dalam proses membangun bangs aini. Salah satu yang tidak bisa dilupakan adalah Koran Sin Po sebagai media perjuangan dan pembangunan kesadaran Nasional. Sin Po merupakan koran berbahasa Melayu-Tionghoa yang pertama kali terbit di Batavia (Jakarta) sebagai salah satu media paling berpengaruh pada masa Pergerakan Nasional.
Peran Tionghoa
Sin Po sebagaimana media lainnya tidak hanya menjadi informasi bagi komunitas Tionghoa, tetapi menjadi sarana penyebaran ide-ide nasionalisme dan anti kolonialisme. Salah satu yang sangat penting adalah bahwa koran ini menjadi media pertama yang mencetak lirik lagu “Indonesia Raya” karya W R Supratman pada tahun 1928. Sin Po bahkan menjadi salah satu media pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” sebagai identitas nasional menggantikan Hindia Belanda.
Jika beberapa suku dan etnis di Indonesia mempunyai Pahlawan Kemerdekaan, etnis Tionghoa juga mencatatkan satu tokoh penting yang menjadi Pahlawan Nasional. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan merupakan pemuda Tionghoa kelahiran Manado tahun 1911. Laksamana Muda TNI John Lie atau dikenal juga dengan Jahja Daniel Dharma adalah seorang perwira tinggi angkatan laut.
Pemuda ini berjasa menyelundupkan senjata dan bahan kebutuhan perang melalui jalur laut ke wilayah Indonesia selama agresi militer. Ia menggunakan kapal-kapal kecil untuk menghindari blockade Belanda, membantu memperkuat pasukan Indonesia. Pada tahun 2009, John Lie baru dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
“Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia” merupakan semboyan yang dikumandang oleh tokoh etnis Tionghoa, Kwee Hing Tjiat melalui Harian Matahari tahun 1930an. Keyakinan ini menembus kesadaran beberapa anak muda Tionghoa untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Beberapa pemuda seperti Liem Koen Hian pendiri PTI, Siaw Giok Tjhan pernah menjadi Menteri Negara Urusan Peranakan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Kwee Tek Hoay sastrawan Melayu Tionghoa dan lainnya.
Peminggiran yang Menyejarah
Peminggiran peran dan diskriminasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia merupakan proses kontruksi sistematis dan kebudayaan. Belanda yang menerapkan sistem divide et impera mengklasifikasikan penduduk menjadi tiga kelompok Eropa, Timur Asing (termasuk Tionghoa dan pribumi. Bahkan puncaknya, pemberlakuan Wet ip het Nederlandschap (1854) yang menjadikan mereka sebagai foreign orientals telah menyumbangkan stigma liar yang memicu ketegangan. Geger Pecinan atau Tragedi Angke (1740) merupakan tragedi pertama yang menandai pembantaian etnis Tionghoa oleh Belanda di mana ribuan orang menjadi korban.
Warisan label foreign orientals atau orang asing ini kerap melekat di dalam benak masyarakat. Tidak terkecuali bagaimana Orde Baru melakukan kebijakan asimilsasi untuk mendorong integrasi etnis Tionghoa yang dianggap asing. Bagi pemerintah saat itu, keragaman budaya, termasuk budaya Tionghoa dapat menjadi ancaman persatuan Nasional.
Tidak hanya berhenti di situ, Intruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina melarang segala bentuk manifestasi budaya, kepercaya dan tradisi Tionghoa termasuk Imlek di ruang publik. Imlek dianggap sebagai budaya “asing” yang tidak sejalan dengan identitas nasional. Pelarangan bahasa Mandarin, aksara Tionghoa dan media berbahasa Mandarin ditutup, termasuk sekolah-sekolah Tionghoa.
Stigma politik dimainkan secara sistematis dengan desain keterlibatan Tionghoa dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Stigma ini menyebabkan diskrimansi dan marginalisasi yang cukup kuat terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia.
Membuka Kesadaran Baru
Rezim Orde Baru jatuh, namun meninggalkan luka mendalam bagi keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa menjadi korban utama kerusuhan yang dicurigai sebagai bagian dari desain sistimatis untuk mengalihkan kemarahan publik ke pemerintah kepada etnis Tionghoa. Stigma Tionghoa yang segelintir elit menguasai perekonomian nasional menimbulkan kecemburuan sosial yang meledak menjadi chaos yang tak terhindarkan.
Kran reformasi memberikan angin segar. Presiden Gus Dur pada tahun 2000 mencabut Inpres Diskriminatif Orde Baru dan mengizinkan kembali perayaan Imlek. Lalu Presiden Megawati menjadikan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Pemulihan hak-hak budaya dan identitas mulai diberikan kepada etnis Tionghoa. Gelar Pahlawan pun diberikan pada tahun 2009 terhadap Laksamana Muda TNI, John Lie.
Namun, bukan sekedar itu yang dibutuhkan. Masyarakat harus membuka kesadaran baru terhadap proses akumulasi kebencian struktural yang telah lama tertanam. Bagaimana pun etnis Tionghoa yang ada di nusantara adalah bagian integral layaknya keturunan bangsa lain yang hidup mendiamin wilayah ini.
Masyarakat harus berani dengan membuang stigma non pribumi yang masih melekat sebagai pengkotakan kewarganegaraan yang turun menurun diwariskan. Istilah Warga asing sebagai bagian dari warisan kolonial masih bercokol di kesadaran masyarakat. Cina Kaya Rakus sebagai stereotip sosial masih menjadi pikiran dominan hingga saat ini yang melupakan mereka yang juga menjadi pedagang kecil di pasar.
Membuka kesadaran baru adalah dengan mengakui dalam kesadaran dan praktek bahwa etnis Tionghoa menjadi bagian integral dalam sejarah Indonesia sejak ratusan tahun silam. Kontribusi mereka membangun ekonomi, budaya, dan sumbangsih kemerdekaan tidak bisa diabaikan. Mereka adalah bagian dari pribumi sebagaimana keberagaman etnik lainnya yang mendiami nusantara dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…
Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…
Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…
Beberapa hari yang lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Eddy Hartono menyatakan…
Paham sektarian adalah sebentuk fanatisme buta terhadap identitas primordial. Menempatkan golongan/kelompok lain sebagai rival, bukan…
Pasca runtuhnya Orde Baru, lanskap sosial keagamaan kita diwarnai oleh satu fenomena baru, yakni kegalauan…