Keagamaan

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan keberagaman sebagai kehendak-Nya.

Bahkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Ayat di atas itu tidak hanya memberikan pengakuan atas keberagaman suku, bangsa, dan budaya, tetapi juga menawarkan sebuah landasan etis untuk memahami dan menghormati perbedaan sebagai sarana untuk menciptakan harmoni. Namun, di tengah meningkatnya konflik sektarianisme belakangan ini, keberadaannya harus kita segarkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar dapat menjadi solusi bagi kehidupan kita.

Al Hujarat tersebut sebenarnya adalah seruan universal bagi seluruh umat manusia, bukan hanya kepada umat Islam. Seruan “Wahai manusia!” menegaskan pesan kesetaraan yang mendalam, bahwa semua manusia berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Tuhan!

Dengan demikian, perbedaan dalam identitas sosial—seperti etnis, suku, agama, maupun bangsa—adalah bagian dari rencana Ilahi yang bertujuan untuk memperkaya kehidupan manusia, bukan sebagai alat pembeda yang menciptakan hierarki atau dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Dalam konteks modern, hal ini seharusnya menjadi pijakan bagi masyarakat untuk melawan ideologi sektarianisme yang kerap mendasarkan diri pada superioritas kelompok tertentu. Sektarianisme, baik dalam bentuk konflik antaragama, intraagama, atau konflik etnis, bertentangan dengan pesan Al-Hujurat ayat 13 karena ia menumbuhkan kebencian dan perpecahan, bukan saling pengertian dan harmoni.

Frasa “agar kamu saling mengenal” dalam ayat ini memiliki makna mendalam yang patut direnungkan. Kata “mengenal” dalam bahasa Arab berasal dari kata ta’aruf, yang tidak hanya berarti mengenal secara superfisial, tetapi juga memahami, menghargai, dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Dalam pengertian ini, keberagaman dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat solidaritas umat manusia.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, implementasi nilai ta’aruf sangat relevan untuk meredam ketegangan sosial yang kerap dipicu oleh stereotip negatif, diskriminasi, atau provokasi politik yang mengeksploitasi perbedaan masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, ayat Al-Qur’an tersebut mengingatkan bahwa nilai kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan ditentukan oleh identitas sosialnya, tetapi oleh tingkat ketakwaannya. Konsep ketakwaan ini mengajarkan pentingnya akhlak mulia, keadilan, dan empati dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia. Oleh karena itu, mengukur kemuliaan individu atau kelompok berdasarkan latar belakang etnis, agama, atau budaya adalah bentuk pengingkaran terhadap ajaran Allah yang termaktub dalam ayat ini.

Indonesia, sebagai negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebenarnya telah memiliki nilai-nilai lokal yang sejalan dengan ajaran Al-Qur’an ini. Namun, penerapan nilai-nilai tersebut sering kali terhambat oleh kepentingan politik atau ideologi yang sempit. Politisasi identitas semacam ini bertentangan dengan semangat ayat ini, karena ia cenderung menciptakan segregasi sosial dan memperkuat sentimen eksklusivisme di masyarakat.

Oleh karena itu, umat Islam khususnya, perlu menjadikan ayat ini sebagai landasan dalam membangun identitas yang inklusif, yaitu identitas yang tidak hanya menghormati keberagaman, tetapi juga memanfaatkannya untuk menciptakan kemaslahatan bersama.

Dengan menjadikan nilai-nilai universal Al-Qur’an sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, kita dapat membangun sebuah masyarakat yang tidak hanya menghormati keberagaman, tetapi juga menjadikannya sebagai sumber kekuatan dan persatuan.

susi rukmini

Recent Posts

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

1 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

1 hari ago

“Multikulturalitas vis-à-vis Syariat”, Studi Kasus Perusakan Makam

Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini…

1 hari ago

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

2 hari ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

2 hari ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

2 hari ago