Belakangan ini viral di media sosial pernyataan rasisme yang dilakukan oleh Senator Bali Dr. Arya Wedakarna, sehingga mendapatkan kecaman keras publik. Senator Arya dalam rapat dengan Bea Cukai Bali dan Petugas Bandara Ngurah Rai berkata dengan nada emosi, “…Saya nggak mau yang front line, front line itu, saya mau yang gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan terbuka. Jangan kasih yang penutup, penutup ngga jelas, this is not Middle East. Enak aja, Bali pakai bunga kek, pakek apa kek…”. Pernyataan inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi.
Namun dalam pernyataan persnya, Arya Wedakarna tidak mengakui bahwa dirinya telah melecehkan simbol identitas agama tertentu. Menurutnya, video yang sedang ramai dan viral di media sosial itu telah dipotong oleh media pers dan orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal jika kita pahami secara seksama, anjuran Arya kepada petugas Bandara Ngurah Rai Bali untuk jangan memakai penutup karena “this is not middle East” merupakan bentuk eksplisit dari politik identitas berbasis agama.
Setelah ditelusuri, ternyata bukan kali ini saja kontroversi yang dilakukan oleh Senator Bali Arya Wedakarna tersebut. Sebelumnya, ia juga melakukan provokasi menolak ceramah Ustad Abdus Shomad (UAS) di Bali. Pada 21 Januari 2020, Arya juga pernah dilaporkan ke Polda Bali oleh Aliansi Masyarakat Peduli Bali, lantaran Arya dianggap melakukan pelecehan terhadap Sulinggih (Pendeta Hindu) dan memalsukan identitas karena mengaku sebagai Raja Majapahit. Kemudian pada 30 Oktober 2020, Arya kembali dilaporkan kepada Polda Bali oleh Tetua (Pinisepuh) Perguruan Sandhi Murti, Yaitu I Gusti Ngurah Harta atas dugaan penodaan agama Hindu (Republika, 02/01/24).
Politisasi Agama
Di tengah situasi pesta Demokrasi seperti sekarang ini, idealnya politik identitas berbasis agama ataupun narasi rasisme harus direduksi dan dihindari bersama. Mengingat hal ini akan potensial menyebabkan konflik di masyarakat. Apalagi ini dilakukan oleh pejabat daerah yang harusnya memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan yang mendalam mengenai nilai-nilai Pancasila. Namun dari realitas yang terjadi, Arya Wedakarna seakan tidak mencerminkan pejabat publik yang nasionalis-religius.
Politik identitas berbalut agama sudah menjadi sejarah kelam pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang dentumannya masih terasa hingga kini. Oleh karena itu, politisasi agama harus menjadi musuh bersama semua komponen masyarakat sehingga potensi konflik bisa diantisipasi dengan baik. Dampak material, sosial, ekonomi, psikologis dan sebagainya tentu bisa menjangkiti masyarakat.
Maka tidak sepatutnya Arya Wedakarna memaksakan kehendaknya atas nama representasi daerah dengan mengkritik simbol agama tertentu. Dalam pernyataanya di atas, jelas sekali dirinya menyinggung persoalan Jilbab. Sah-sah saja jika sebagai Senator Daerah dirinya menginginkan putera-puteri Bali yang memegang tradisi Hindu untuk diprioritaskan, namun tentu jangan sampai bersikap diskriminatif kepada petugas bandara yang lainnya.
Pentingnya Kerukunan
Dari peristiwa Arya Wedakarna ini, harusnya kita semakin memupuk kesadaran akan pentingnya membangun kerukunan antar Agama. Apa yang dilakukan oleh Senator Arya Wedakarna justru ingin menghancurkan kerukunan yang sudah sekian lama terus dipupuk oleh berbagai elemen masyarakat. Di tahun politik seperti saat ini, isu agama sangat sensitive yang banyak dijadikan asongan politik oleh berbagai oknum politisi.
Menurut Prof. Ngainun Naim (2013), paling tidak ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan spirit kerukunan. Pertama, peran Pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki tugas untuk menciptakan keharmonisan hidup yang plural secara konstitusional dan politik. Realitas masyarakat begitu dinamis sehingga pemerintah perlu bijak menyikapinya, mengingat memberikan perlindungan dalam beragama di masyarakat merupakan tugas utama pemerintah.
Kedua, komunikasi intensif. Strategi komunikasi menjadi salah satu faktor penting dalam menumbuhkan kesadaran sosial di masyarakat. Seringkali terjadinya konflik sosial akibat dari minimnya tingkat komunikasi antar satu warga dengan yang lainnya. Prof. Mukti Ali menyadari bahwa dialog antar agama menjadi kunci dalam kehidupan, karena akan membangun sikap saling percaya.
Ketiga, meningkatkan Sumber Daya Manusia Umat Beragama. Tersedianya SDM umat beragama yang berkualitas berbanding lurus dengan tingkat harmonisasi sosial di masyarakat agamis. Dengan SDM yang unggul, umat beragama tidak mudah diprovokasi oleh kalangan Islamis yang berjubah agama.
Keempat, Peran tokoh agama. Biasanya masyarakat Indonesia menganut pola relasi patron-client, yang mana terdapat stratifikasi sosial berbasis agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Patron yang direpresentasikan oleh tokoh agama menjadi rujukan client-nya. Oleh karena itu, tokoh agama memiliki peran penting untuk meredam konflik berbasis agama.
Mengaca dari kasus Arya Wedakarna di atas, ke depan kita perlu memilih wakil-wakil kita di daerah yang memiliki wawasan kebangsaan berbasis Pancasila mumpuni serta yang senantiasa memupuk kerukunan antar umat beragama. Mengingat sebagai negara yang Bhineka Tunggal Ika, penting untuk selalu mewaspadai politik identitas berbasis agama yang pada gilirannya menjadi bahaya laten masyarakat Kita. Semoga.
This post was last modified on 4 Januari 2024 3:18 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…