Faktual

Delegitimasi Tradisi Pesantren; Membongkar Taktik Manipulatif Kaum Salafi Wahabi Mengadudomba Umat Islam

Jagad media sosial, terutama X heboh oleh unggahan tagar “Boikot Trans7”. Tanda pagar itu muncul sebagai respons keras atas tayangan bertajuk Xpose Uncencored yang menyoroti tradisi pesantren.

Antara lain tradisi mengalami kiai dengan mencium tangan dan membungkuk, memberikan amplop berisi uang ke kiai, atau tradisi kerja bakti termasuk mengecor bangunan di pesantren. Tayangan itu juga menyoroti gaya hidup kiai yang dinilai mewah dan hedonis dengan mobil mewah dan pakaian branded berharga mahal.

Tayangan itu pun memicu kemarahan publik, terutama kalangan warga Nahdliyin yang selama ini lekat dengan kiai dan tradisi pesantren. Sejumlah kalangan melontarkan protes keras terhadap tayangan tersebut. Bahkan, Ketua Umum PBNU, Kiai Yahya Cholil Staquf pun angkat bicara soal ini.

Melalui video lima menit dengan latar bendera NU, ia menyampaikan proses keras terhadap Trans7 selalu stasiun tv yang memproduksi dan menanyakan acara yang dinilai menghina kiai dan tradisi pesantren. Pihak Trans7 secara resmi telah mengeluarkan pernyataan maaf dan penyesalan atas tayangan tersebut. Namun, amarah warga Nahdliyin tampaknya belum reda.

Setidaknya ada sejumlah hal yang patut dipersoalkan dari tayangan yang menuai kontroversi tersebut. Pertama, tayangan tersebut tidak memenuhi kaidah atau standar sebagai produk jurnalisme alih-alih semacam trivia yang mengedepankan sensasi dan kontroversi.

Dari tayangan video yang hanya mencomot rekaman amatir di media sosial, narasi yang berlebihan dan intonasi pengisi suara yang secara sengaja bertendensi merendahkan, kita bisa menyimpulkan bahwa tayangan itu bukan produk jurnalistik.

Tidak ada unsur pemberitaan berimbang, apalagi konfirmasi langsung dengan para santri atau kiai. Padahal, dalam etika jurnalisme, berita harus berasal dari narasumber yang jelas, dan disajikan secara berimbang. Tayangan Xpose Uncencored abai pada kaidah tersebut. Mereka hanya mencomot video amatir di media sosial tentang kebiasaan di pesantren lantas diframing dan dihakimi.

Kedua, tayangan itu secara eksplisit membangun opini dan narasi bahwa pesantren itu lembaga pendidikan yang feodalistik, bobrok, alias tidak bermoral. Narasi ini ironisnya dibangun hanya dengan mencomot video pendek amatir di media sosial. Padahal, dunia pesantren itu luas. Saat ini saja di Indonesia ada sekitar 22 ribu pesantren tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, 19 ribu di antaranya berafiliasi ke NU.

Jika kita melihat secara keseluruhan dan dengan detil, maka jelas bahwa tidak semua pesantren mengajarkan budaya feodal. Pesantren NU yang berusaha pilihan bahkan ratusan dan masih mempertanyakan model pengajaran klasik, cenderung masih merawat kultur penghormatan berlebih pada kiai.

Sosok kiai bagi santri bukan sekedar pengajar agama, namun juga sosok yang disucikan bahkan dikultuskan. Namun, di pesantren yang berhaluan modern, relasi yang hirarkis itu tidak lagi dipertahankan. Relasi kiai dan santri di pondok modern cenderung lebih egaliter. Fakta itu yang luput ditampilkan oleh tayangan tersebut.

Ketiga, dalam pembacaan yang lebih luas, ada semacam desain atau skenario untuk mendelegitimasi dan mendeskreditkan pesantren NU yang selama ini lekat dengan kearifan lokal dan cenderung berpandangan moderat.

NU dan pesantren adalah pilar penting dalam menjaga eksistensi NKRI dengan Pancasila-nya. Pesantren menjadi lokomotif penarik gerbong moderasi beragama yang tetap berakar pada khazanah budaya dan kearifan lokal Nusantara.

NU dan pesantren berada di garda depan membendung arus konservatisme dan radikalisme agama yang marak belakangan ini. NU dan pesantren adalah aktor penting dalam menjaga wajah moderat Islam Indonesia ketika ideologi salafi wahabi kencang dipropagandakan oleh kelompok kanan konservatif. Itulah mengapa pesantren kerap mendapat serangan bertubi dari golongan radikal.

Dalam konteks Trans7, ini bukan kali pertama stasiun televisi ini menyinggung tradisi NU. Beberapa tahun lalu, Trans7 juga tersandung kasus karena salah satu acaranya menyinggung tentang tradisi 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari bagi orang yang meninggal. Acara keagamaan yang kala itu (2015) dipandu artis hijrah Teuku Wisnu itu menyebut tradisi itu tidak ada ajarannya dalam Islam dan merupakan bidah yang tidak boleh dilakukan.

Rasanya tidak berlebihan untuk mengaitkan dua kasus itu sebagai skenario besar untuk mendelegitimasi pesantren. Isu tentang feodalisme pesantren dan gaya hidup mewah keluarga ulama dijadikan sebagai alat untuk menyerang pesantren, terutama pesantren yang secara spesifik terafiliasi ke NU.

Arkian, satu hal yang paling penting bagi umat Islam hari ini adalah senantiasa merawat kerukunan dan jangan mau diadudomba olek kelompok radikal ekstrem. Kita tidak boleh hanyut oleh arus kemarahan yang tentu akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memecah belah umat.

Di media sosial, netizen terbelah ke dalam dua pandangan besar yang berbeda. Di satu sisi, ada yang menyeru boikot Trans7, namun di sisi lain ada yang menganggap secara subtansi, tayangan Xpose itu sudah benar.

Kita perlu menetralisasi keadaan. Pihak Trans7 telah meminta maaf secara resmi. Cukuplah pemintaan maaf itu sebagai alasan untuk mengakhiri kontroversi yang kadung menggelinding. Pesantren tetap harhs dijaga marwahnya. Menjaga Pesantren dengan tradisinya sebenarnya adalah upaya merawat moderasi beragama.

This post was last modified on 19 Oktober 2025 9:28 AM

Nurrochman

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

3 hari ago

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik:…

3 hari ago

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng Dunungipun tauhid wonten ening Ma’rifat wonten eling —Serat Pengracutan, Sultan…

3 hari ago