Faktual

ASN Intoleran dan Pentingnya Pengawasan Internal di Instansi Pemerintah

Lagi-lagi seorang pegawai negeri muslim perempuan mengamuk ke tetangga non-muslim yang tengah melakukan kegiatan doa di rumahnya. Diketahui, ia merupakan ASN, bahkan Kepala Dinas Pariwisata di Kota Bekasi. Dalam video yang beredar, ia terlihat berteriak-teriak membubarkan kegiatan doa dengan dalih tidak ada ijin.

Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa serupa, yang terjadi di Gresik beberapa waktu lalu. Kala itu, seorang perempuan yang merupakan guru ASN membubarkan kegiatan peringatan kenaikan Isa Al Masih yang digelar tetangga kompleks perumahan. Video pembubaran disertai teriakan marah-marah itu pun viral di medsos.

Namun, entah apa kelanjutan kasus itu. Adakah sanksi untuk sang guru? Kita sampai hari ini tidak mendapatkan kejelasan. Kasus itu pun menguap, tertutup oleh kasus-kasus lain yang viral. Bisa jadi, kasus yang belakangan terjadi ini pun akan mengalami nasib serupa.

Sang kepala dinas hanya akan membuat video klarifikasi, dan menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulang kembali. Lalu kantor akan memberikan sanksi administratif. Dan kasus pun menguap begitu saja tanpa ada penyelesaian subtansial. Itulah mengapa kasus Intoleran terus berulang. Jawabannya, karena mekanisme penyelesainnya tidak memberikan efek jera ke pelaku.

Dua kasus di atas membuktikan betapa virus intoleransi sudah menyebar ke lapangan pegawai pemerintahan. Ini jelas bukan sekedar asumsi apalagi persepsi negatif. Isu penyebaran paham intoleran di kalangan pegawai pemerintah ini bukan isapan jempol belaka.

Mengapa Banyak ASN Berperilaku Intoleran?

Survei Alvara Institute pasa tahun 2017 sudah mengungkap bagaimana para ASN/PNS, baik itu guru maupun pegawai pemerintahan banyak yang berpandangan intoleran, anti-perbedaan agama, bahkan cenderung tidak lagi menganggap Pancasila sebagai ideologi negara.

Bahkan, di website aduan ASN, kasus paling banyak yang dilaporkan masyarakat adalah perilaku intoleran para pegawai pemerintahan. Ini membuktikan bahwa intoleransi di kalangan pegawai pemerintah itu sudah menjadi problem yang akut.

Pertanyaannya, mengapa kian banyak ASN berpandangan intoleran bahkan radikal? Secara umum, kita tentu bisa mengaitkan hal ini dengan gejala konservatisme keaagamaan yang memang tengah melanda Indonesia pasca Reformasi.

Gelombang konservatisme agama ini tampaknya memang lebih menyasar kalangan kelas menengah, termasuk di dalamnya kalangan pegawai pemerintahan. Kelompok yang telah mapan secara ekonomi ini mulai fokus belajar dan mengamalkan agama. Hanya saja, mereka acapkali salah dalam memilih guru dan referensi belajar. Alhasil, mereka tergiring ke model keaagamaan yang konservatif, bahkan radikal.

Namun, jika dilihat secara lebih spesifik, banyaknya ASN atau PNS yang terindikasi terpapar paham intoleran radikal ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan di lingkup internal. Banyak sekali kegiatan keagamaan (Islam) di lingkup instansi pemerintah, terutama daerah yang secara tidak disadari menjadi celah masuknya paham intoleran dan radikal.

Sebagai contoh, banyak pengajian rutin di kalangan pegawai pemerintah yang justru mengundang penceramah agama yang dikenal berpandangan konservatif. Hal ini terjadi karena posisi-posisi strategis di sejumlah kantor pemerintah itu telah dikuasai oleh sosok-sosok yang memang bersimpati atau justru menjadi anggota kelompok radikal.

Sanksi Tegas ASN Pelaku Intoleransi

Fenomena ini tentu ironis. Seperti kita tahu, pegawai pemerintah adalah ujung tombak sekaligus harga depan dalam pengamalan Pancasila. Ketika ujian seleksi, mereka diwajibkan lolos tes wawasan kebangsaan.

Ketika diklat pra jabatan, mereka diberikan materi wawasan kebangsaan, bahkan dididik secara militer. Demikian juga ketika dilantik, mereka disumpah untuk setia pada Pancasila. Ironisnya, ketika sudah bekerja, mendapatkan gaji dan tunjangan serta fasilitas beragam dari negara, mereka justru berperilaku anti Pancasila.

Maka dari itu, pengawasan internal di lingkup pemerintah harus diperketat. PNS atau ASN ini bukan warganegara biasa. Mereka digaji oleh negara bahkan mendapat pensiun setelah masa tugas berakhir. Artinya, seumur hidup mereka ditanggung pemerintah. Aneh jika mereka justru menjadi anti tesis kebijakan atau pandangan pemerintah.

Maka, ketimbang warga sipil biasa, para pegawai pemerintah harus lebih ekstra ketat diawasi. Kehidupan bermasyarakatnya harus dievaluasi. Perilakunya di media sosial harus dibatasi. Dalam artian, mereka harus sepenuhnya menjadi agen pemerintah dalam hal penegakan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan lainnya.

Tidak kalah penting dari itu adalah haeuabada sanksi tegas bagi pegawai pemerintah pelaku intoleransi. Jangan sampai, kasus intoleransi yang melibatkan pegawai negara diselesaikan hanya dengan selembar kertas bermaterai berisi pernyataan formalistik apalagi hanya melalui video klarifikasi yang diunggah di media sosial. Pegawai pemerintah pelaku intoleransi harus disanksi tegas berupa pemberhentian dengan tidak hormat. Itu akan menjadi pelajaran yang menimbulkan efek jera. Tanpa sanksi tegas, fenomana ASN atau PNS intoleran ini akan terus ada sampai kapan pun.

Nurrochman

Recent Posts

Kaum Muda Sebagai Game Changer; Masih Relevankah Sumpah Pemuda bagi Gen Z?

Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…

6 jam ago

Sumpah Pemuda di Medan Juang Metaverse: Menjaga Kedaulatan Digital Menuju Indonesia Emas 2045

Dunia metaverse yang imersif, kecerdasan buatan (AI) yang kian intuitif, dan komunikasi interaktif real-time telah…

6 jam ago

Manusia Metaverse; Masihkah Gen Alpha Butuh Nasionalisme?

Beberapa tahun lalu, gambaran dunia virtual tiga dimensi seperti dalam film Ready Player One hanyalah…

6 jam ago

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

1 hari ago

Kontra-Terorisme dan Urgensi Mengembangkan Machine Learning Digital Bagi Pemuda

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, ancaman radikalisme tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi…

1 hari ago

Dari Jong ke Jaringan: Aktualisasi Sumpah Pemuda dalam Membangun Ketahanan Digital

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan…

1 hari ago