Narasi

Bagaimana Seorang Da’i Berkompromi dengan Keberagaman?

Seorang pendakwah sesungguhnya memikul dua amanah besar di tengah masyarakat. Di satu sisi, pendakwah adalah penjaga aqidah umat, pewaris risalah para nabi yang berkewajiban menyampaikan kebenaran yang diyakininya secara utuh dan jernih. Di sisi lain, ia adalah warga dari sebuah bangsa yang majemuk, di mana realitas keyakinan yang berbeda bukanlah sebuah anomali, melainkan keniscayaan yang harus dihadapi dengan kebijaksanaan.

Lalu, bagaimana si pendakwah mengelola keragaman ini, dan bagaimana ia “berkompromi” di tengah persimpangan antara kebenaran yang dibawanya dengan realitas keberagaman yang menjadi trademark Indonesia?

Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda suku dan bangsa agar saling mengenal. “Saling mengenal” ini bukanlah sekadar mengetahui nama atau asal-usul. Ia adalah sebuah perintah untuk melakukan penggalian intelektual dan empatik untuk memahami sejarah, harapan, kecemasan, dan cara pandang dunia dari mereka yang berbeda.

Dengan fondasi pemahaman ini, dakwah yang efektif dengan sendirinya akan bertransformasi. Ia bukan lagi sebuah monolog yang menghakimi dari atas mimbar, yang hanya menciptakan audiens pasif atau oposisi reaktif. Ia berubah menjadi sebuah percakapan tulus yang lahir dari keinginan otentik untuk memahami sebelum dipahami.

Sebelum menyentuh ranah teologi yang mungkin sensitif dan penuh perbedaan, seorang pendakwah yang bijak akan terlebih dahulu mencari titik temu melalui nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Penceramah yang bijak tidak akan pernah langsung mencerca keyakinan orang yang lain.

Setelah meletakkan fondasi dalam mengelola keragaman, tantangan berikutnya yang lebih rumit muncul: bagaimana ia “berkompromi”? Di sinilah letak kearifan tertinggi seorang pendakwah, yakni dalam memahami bahwa “kompromi” yang dimaksud bukanlah peleburan akidah atau menganggap semua agama sama. Kompromi yang dimaksud adalah sebuah keluhuran dan kecerdasan dalam memilih metode, adab, dan strategi, bukan menjual prinsip keyakinan.

Untuk mampu melakukannya, ia harus piawai memisahkan dua domain dalam dirinya: ranah internal keyakinan dan ranah eksternal pergaulan. Ranah internal adalah ruang kalbunya, tempat ia terus-menerus mengisi ulang energi spiritualnya, memperdalam ilmunya, dan memurnikan hubungannya dengan Sang Pencipta.

Di dalam ruang privat inilah ia berdiri kokoh di atas fondasi aqidahnya, tanpa keraguan. Inilah sumber integritas dan kekuatan sejatinya. Tanpa ruang internal yang terawat, interaksi eksternalnya akan menjadi rapuh; bisa jadi terlalu agresif karena rasa tidak aman, atau terlalu permisif karena kebodohan.

Namun, begitu ia melangkah ke ruang publik yang majemuk, bingkai interaksinya pun berubah. Di sinilah prinsip agung “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” menjadi pemandu, bukan sebagai deklarasi permusuhan, melainkan sebagai penegasan batas-batas yang saling menghormati.

Sikap ini diwujudkan dengan menjaga lisan agar tidak mencela sesembahan orang lain, karena ia paham hal itu hanya akan memantik api permusuhan yang merusak. Ia menjadi pribadi yang tegas pada substansi ajaran, namun luwes dan santun dalam cara penyampaiannya, selalu berusaha mencari cara terbaik (billati hiya ahsan) sebagaimana tuntunan Surah An-Nahl.

Ia mampu membungkus nasihat dengan selimut kasih sayang (mau’izhah hasanah), sehingga menyentuh hati sebelum menantang pikiran. Ia pun memiliki hikmah; kemampuan taktis untuk mengatakan hal yang benar, pada waktu yang tepat, kepada orang yang tepat, dan dengan cara yang tepat.

Tidak ada pendakwah ideal dalam masyarakat. Yang ada adalah penceramah yang mampu mengartikulasikan dakwah di tengah masyarakat tanpa mengancam kemajemukan yang ada. Penceramah ini adalah sosok yang memiliki kaki yang kokoh berpijak di atas aqidahnya, namun memiliki tangan yang terbuka lebar untuk merangkul sesama.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Menghadapi Infiltrasi Dakwah Trans-nasional dengan Kebijaksanaan Lokal

Di era keterbukaan informasi saat ini, media digital telah mengubah cara umat beragama, khususnya umat…

1 jam ago

Dakwah Berwawasan Kebangsaan Sebagai Jihad Fikriyah di Tengah Arus Transnasionalisme

Era digital harus diakui telah mendorong transnasionalisme ke titik yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di…

1 hari ago

Kontroversi Zakir Naik: Menyoal Dakwah Transnasional Bercorak Apologetik-Konfrontatif

Pasca tampil di siniar bersama mualaf Richard Lee yang sempat mendulang kontroversi, pendakwah asal India,…

1 hari ago

Kyai dan Nyai Kampung, “Rumah” Dialog Remaja Agar Selamat dari Ideologi Dakwah Transnasional

Lazim dipahami bersama, kyai kampung adalah figur  otoritas bagi jamaah di kampung, desa, kalurahan, bahkan…

1 hari ago

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

4 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

4 hari ago