Di era keterbukaan informasi saat ini, media digital telah mengubah cara umat beragama, khususnya umat Islam, mengakses kajian keagamaan. Dengan berbagai platform digital, umat Islam di Indonesia kini dapat dengan mudah mengikuti kajian dari berbagai ulama dan cendekiawan Muslim dari seluruh dunia, seperti dari Pakistan, Arab Saudi, atau negara-negara Timur Tengah lainnya. Keterbukaan ini tentu membawa dampak positif, memperkaya wawasan umat Islam, dan memberikan kemudahan dalam memperoleh ilmu agama. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pula tantangan besar dalam menjaga relevansi ajaran Islam di Indonesia yang kaya dengan tradisi dan budaya lokal.
Salah satu tantangan utama adalah perbedaan nilai dan pendekatan yang dibawa oleh dakwah transnasional dengan nilai-nilai keagamaan khas Nusantara. Dakwah yang datang dari luar, sering kali membawa agenda purifikasi atau pemurnian ajaran Islam yang cenderung mengabaikan keberagaman budaya dan tradisi yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia. Padahal, nilai-nilai tersebut, yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, telah membentuk identitas keagamaan yang khas di Indonesia.
Dakwah transnasional, yang sering mengusung visi purifikasi ajaran Islam, bertujuan untuk menghapuskan praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran murni Islam. Meskipun niat ini berlandaskan untuk memperbaiki kualitas pemahaman agama, pada kenyataannya sering kali ajaran tersebut bertabrakan dengan nilai-nilai lokal yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Salah satu contoh konkret adalah hubungan antara Islam dengan budaya lokal, yang dikenal dengan konsep akulturasi. Di Indonesia, Islam tidak datang dengan cara yang kaku dan menuntut pengikutnya untuk sepenuhnya meninggalkan budaya yang ada. Sebaliknya, Islam di Nusantara berkembang dengan mengakomodasi nilai-nilai lokal yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Misalnya, tradisi selametan atau gotong royong yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang meskipun tidak ada dalam teks-teks klasik Islam, tetap dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Namun, dalam beberapa kajian dakwah transnasional, praktek-praktek seperti ini seringkali dianggap bid’ah atau tidak sesuai dengan ajaran murni Islam. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat, memicu ketegangan antara kelompok yang mendukung purifikasi ajaran dan mereka yang lebih mengutamakan keberagaman budaya. Padahal, jika kita merujuk pada dakwah Walisongo, para penyebar Islam di Indonesia pada abad ke-15, mereka berhasil mengajarkan Islam dengan cara yang bijaksana dan penuh penghormatan terhadap adat istiadat lokal. Dakwah mereka tidak hanya mengedepankan ajaran agama, tetapi juga memperhatikan norma dan tradisi yang sudah ada, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Para Walisongo sebagai tokoh utama dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara memberikan contoh nyata bagaimana dakwah dapat dijalankan dengan menghargai adat dan tradisi lokal. Mereka tidak memaksakan nilai-nilai Arab atau budaya asing, melainkan menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat lokal. Misalnya, para wali menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam, meskipun wayang pada awalnya berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Hal ini menunjukkan bahwa dakwah yang bersifat inklusif dan akomodatif terhadap budaya lokal tidak hanya efektif, tetapi juga mampu membangun kedekatan emosional dengan masyarakat.
Selain itu, dalam menghadapi tantangan dakwah transnasional, umat Islam di Indonesia harus mampu memegang teguh prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, dan Pancasila sebagai dasar negara mencerminkan nilai-nilai pluralisme yang harus dijaga. Dalam konteks ini, dakwah yang mengedepankan kesatuan dan persatuan, serta menghargai perbedaan, adalah bentuk dakwah yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Sebagai umat Islam di Indonesia, kita diperbolehkan untuk mengkonsumsi kajian keagamaan dari berbagai ulama internasional, tetapi perlu diingat bahwa otoritas keagamaan lokal tidak boleh diabaikan. Ulama-ulama Indonesia telah lama berkontribusi dalam membentuk intelektualitas Islam yang khas Nusantara, dan kontribusi ini harus dihargai dan dipertahankan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh para cendekiawan Islam Indonesia, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, Islam di Indonesia harus selalu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai universal ajaran Islam dan nilai-nilai lokal yang sudah ada.
Indonesia memiliki warisan intelektual Islam yang luar biasa, yang tidak hanya meliputi aspek ibadah, tetapi juga pemikiran-pemikiran keagamaan yang mendalam dan relevan dengan konteks sosial dan budaya Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus lebih bijaksana dalam memilih kajian yang sesuai dengan konteks lokal, yang tidak hanya benar secara syariat, tetapi juga maslahat dan relevan dengan kondisi sosial budaya kita.
Dalam menghadapi infiltrasi dakwah transnasional yang membawa ajaran Islam dengan pendekatan yang lebih puritan, umat Islam Indonesia perlu menemukan jalan tengah yang mampu menjaga relevansi dakwah Nusantara. Dakwah yang memperhatikan kearifan lokal, menghargai adat, dan tetap dalam bingkai syariat Islam adalah dakwah yang lebih relevan dan maslahat bagi masyarakat Indonesia. Para ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga otoritas keagamaan lokal, yang tidak hanya menjaga kesucian ajaran Islam, tetapi juga mendukung keberagaman dan keharmonisan sosial di Indonesia. Dengan demikian, kita dapat terus melestarikan warisan dakwah yang penuh kasih sayang, toleransi, dan persatuan.
Seorang pendakwah sesungguhnya memikul dua amanah besar di tengah masyarakat. Di satu sisi, pendakwah adalah…
Era digital harus diakui telah mendorong transnasionalisme ke titik yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di…
Pasca tampil di siniar bersama mualaf Richard Lee yang sempat mendulang kontroversi, pendakwah asal India,…
Lazim dipahami bersama, kyai kampung adalah figur otoritas bagi jamaah di kampung, desa, kalurahan, bahkan…
“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…
Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…