Persepsi dan sikap intoleran di kalangan pemuda ternyata masih cukup mengakar kuat dan sukar direduksi. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sikap penolakan mereka terhadap kelompok lain, yang dalam anggapan umum distigma sebagai kelompok “sesat”, semisal Ahmadiyah, Syiah dan lain sebagainya.
Realitas ini selaras dengan laporan riset dari INFID dan Jaringan Gusdurian tahun 2020 tentang “persepsi dan sikap generasi muda terhadap intoleransi dan kekerasan”. Dalam survei yang dilakukan terhadap 1200 responden di enam kota besar seperti Surabaya, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar dan Pontianak, ditemukan bahwa ketika anak muda dihadapkan pada pertanyaan seputar toleransi, sebagian besar responden masih bimbang/gamang. Namun, mayoritas kalangan muda setuju bahwa kekerasan yang bermotif agama tidak bisa dibenarkan.
Menurut koordinator riset INFID, Ahmad Zainul Hamdi bahwa terdapat jarak yang menganga antara sikap yang tegas dalam menolak kekerasan bermotif agama dan sikap yang mulai abu-abu saat masuk ke isu toleransi. Dalam konteks ini, agama pada dasarnya anti kekerasan dan senantiasa menjadi realitas yang sakral, namun penerimaan terhadap kelompok lain di kalangan pemuda masih menjadi barang yang mahal.
Persepsi kalangan muda terhadap kelompok lain ini akan menjadi bahaya laten intoleransi di Indonesia. Karena pada dasarnya laku seseorang berawal dari persepsinya terhadap kelompok yang berbeda. Seturut dengan hal itu, ternyata tokoh agama yang cenderung tidak moderat (konservatif-radikal) banyak menjadi favorit kalangan anak muda, realitas tersebut menjadi menjadi instrumen penting dari persepsi intoleran kawula muda dan menjadi tolok ukur kegagalan menumbuhkembangkan toleransi.
Secara berurutan nama tokoh muda yang paling banyak diidolakan dan dikenal di antara adalah Hanan Attaki menempati posisi pertama, kemudian disusul dengan Evie Effendi, Felix Siauw, Ust. Riza Muhammad, Oki Setiana Dewi, Ahmed Zam Zam, Taqy Malik, Ust. Maulana, Ryo Haryanto, Ust. Muzammil, Sabrang Mowo Damar bahkan yang terbaru ada Aldi Taher. Ustad seleb ini banyak mengisi ruang dakwah di kalangan pemuda, karena mereka mendominasi media serta banyak muncul di laman media online maupun media televisi. Tokoh-tokoh seleb ini cenderung menjadi otoritas keagamaan mereka (anak muda).
Ternyata, persepsi intoleran anak muda bukan berangkat dari ruang yang kosong. Kalangan anak muda dewasa ini mayoritas yang belajar agama dari media, yang meniscayakan interaksi dakwah satu arah. Tidak banyak dijumpai ruang dialog interaktif untuk mengafirmasi tafsir/pemahaman keagamaan. Padahal di era keterbukaan ini penting untuk memilih media pembelajaran keagamaan yang moderat dan kontekstual.
Jalan Keluar
Mengapa pembelajaran agama yang moderat penting? Karena ini menjadi modal awal penting untuk memupuk kesadaran akan pluralitas agama dan budaya. Jika seseorang masih konsisten belajar agama kepada ustad seleb yang belum memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni, maka bisa dipastikan ia akan memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung ekslusif dan intoleran.
Latar sosiologis, mengapa kemudian di Indonesia banyak menjamur “ustad dadakan”?, disinyalir akibat dari pandangan umum radikal tentang “kewajiban seluruh umat untuk berdakwah”. Padahal dakwah itu bukan jalan yang mudah, dan menurut saya dakwah itu hanya wajib bagi orang tertentu saja yang memiliki kualifikasi tertentu.
Berkaitan dengan dakwah, menurut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU), KH. Syamsul Ma’arif bahwa seorang pendakwah itu harus memiliki kualifikasi dalam melaksanakan tugas dan misinya. Setidaknya ada enam kualifikasi yang harus dipenuhi, yakni kualifikasi kualitas kalbu, sosial, lisan, keilmuan, fisik, dan ekonomi, NU Online, (19/11/19).
Menurutnya, kualitas kalbu adalah kematangan psikologis dan spiritual. Kualitas sosial adalah kompetensi komunikasi yang baik secara vertikal, horizontal, dan diagonal dengan sesama manusia. Kualitas lisan adalah kompetensi dalam penggunaan lidah dan pengendaliannya, dengan bertutur kata benar, halus, lembut, tepat, efektif, dan efisien.
Selanjutnya kualitas yang sangat penting dimiliki seorang dai adalah kualitas ilmu. Seorang pendakwah harus memiliki kompetensi da’i dari aspek keilmuan normatif dan praktis aplikatif. Seperti penguasaan dalil Quran dan hadits, secara bacaan (tilawatan), pemahaman (fahman), dan praktik keseharian (tathbiqan). Kualitas ini berbanding terbalik dengan para da’i yang banyak menjadi idola para pemuda saat ini. Ada beberapa ustad seleb yang gagap/tertatih bacaan Qurannya banyak yang dijadikan rujukan pembelajaran agama.
Kemudian kualitas fisik adalah terkait dengan kondisi jasmani yang sehat, prima, energik, dan penuh vitalitas. Tak kalah pentingnya seorang da’i harus memiliki kualitas dan kompetensi ekonomi yang mumpuni dan berdikari karena kelemahan aspek ekonomi banyak menjadi salah satu kendala dakwah.
Akhirnya, memilih belajar agama kepada pendakwah yang memiliki kualifikasi di atas menjadi penting untuk digalakkan di kalangan anak muda. Karena para pendakwah yang tidak kualifikatif menjadi faktor tak langsung bagi pemahaman intoleran bagi kawula muda. Dan hal ni menjadi salah satu jalan keluar, agar pemuda kedepannya selektif memilih pendakwah yang moderat, yang pada gilirannya melahirkan pemahaman agama yang inklusif dan toleran.
This post was last modified on 25 Maret 2021 4:59 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…