Indonesia adalah negara yang kaya akan kemajemukan. Dari Sabang hingga Merauke, kita hidup dalam keragaman suku, agama, budaya, dan bahasa. Kemajemukan ini telah menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia sebagai bangsa. Namun, di balik keindahan keberagaman ini, muncul tantangan yang tidak boleh diabaikan: sakralisasi politik, di mana politik diberi makna yang berlebihan dan dianggap sebagai sesuatu yang “suci” atau “tak tersentuh.” Fenomena ini dapat berpotensi memecah belah bangsa jika tidak ditangani dengan bijaksana.
Sakralisasi politik adalah kondisi di mana proses politik atau tokoh-tokoh politik dipandang sebagai sesuatu yang sangat suci, sehingga kritik atau perbedaan pendapat terhadapnya dianggap tabu atau bahkan dilarang. Dalam praktiknya, sakralisasi politik dapat melibatkan pengkultusan individu, partai politik, atau ideologi tertentu. Ketika politik disakralkan, orang mulai melihatnya bukan lagi sebagai alat untuk mencapai kepentingan bersama, tetapi sebagai sesuatu yang tak bisa diganggu gugat.
Fenomena ini sangat berbahaya, terutama dalam negara yang plural seperti Indonesia. Ketika politik dianggap sakral, maka perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan atau penghinaan. Akibatnya, demokrasi yang sehat dan terbuka berubah menjadi ajang penindasan bagi mereka yang memiliki pandangan berbeda.
Sakralisasi politik secara langsung memicu polarisasi. Ketika individu atau kelompok tertentu dianggap sebagai “pembawa kebenaran,” perbedaan pandangan tidak lagi dihargai. Mereka yang tidak sepakat dengan narasi politik yang disakralkan sering kali dikucilkan, dihujat, atau bahkan diintimidasi. Polarisasi ini mengakibatkan masyarakat terpecah menjadi dua kutub ekstrem yang sulit menemukan titik temu.
Di negara yang beragam seperti Indonesia, polarisasi semacam ini bisa memecah belah masyarakat berdasarkan identitas sosial, seperti suku, agama, atau budaya. Misalnya, ketika agama digunakan sebagai alat politik dan disakralkan, masyarakat bisa terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan hanya karena perbedaan keyakinan politik. Padahal, semestinya politik menjadi wadah untuk mencari kesepakatan bersama, bukan alat pemecah belah.
Sakralisasi politik secara perlahan-lahan mengikis esensi dari demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi, kritik dan perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan sangat diperlukan. Tanpa kritik, tidak akan ada perbaikan. Namun, dalam iklim politik yang disakralkan, kritik sering kali dianggap sebagai ancaman atau penghinaan. Hal ini membatasi kebebasan berbicara dan menghalangi diskusi yang sehat di masyarakat.
Demokrasi tidak hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan berorganisasi. Sakralisasi politik membungkam ruang-ruang demokrasi ini dan menimbulkan budaya takut dalam menyuarakan pendapat. Akibatnya, pemerintah atau pihak yang berkuasa menjadi semakin tidak tersentuh dan bisa bertindak tanpa pengawasan yang memadai dari masyarakat.
Sakralisasi politik sering kali beriringan dengan menguatnya politik identitas. Politik identitas adalah penggunaan identitas sosial seperti agama, etnis, atau budaya sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan politik. Dalam konteks sakralisasi politik, kelompok-kelompok tertentu diangkat sebagai “wakil sah” dari suatu identitas dan dihadapkan pada kelompok lain yang dianggap berbeda.
Politik identitas dalam negara yang beragam seperti Indonesia sangat berbahaya karena dapat memecah belah bangsa. Ketika politik disakralkan, orang tidak lagi melihat kepentingan bersama sebagai tujuan utama, melainkan memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri, tanpa memedulikan kepentingan yang lebih luas. Ini bisa memperparah konflik sosial dan memperlemah persatuan nasional.
Ketika politik dianggap sakral, para politisi populis dapat dengan mudah memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi. Mereka dapat mengklaim diri sebagai “penyelamat bangsa” atau “wakil Tuhan” yang tidak bisa dikritik atau dipertanyakan. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi rentan terhadap manipulasi, karena mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh tokoh yang disakralkan adalah kebenaran mutlak.
Populisme yang berakar pada sakralisasi politik berbahaya karena cenderung menggunakan retorika emosional untuk meraih dukungan. Alih-alih berbicara tentang kebijakan yang rasional, populis lebih sering menggunakan sentimen keagamaan, kebangsaan, atau etnisitas untuk menarik simpati massa. Ini semakin memperdalam polarisasi dan membuat masyarakat terpecah lebih dalam.
Untuk mencegah bahaya sakralisasi politik, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemangku kepentingan politik:
Sakralisasi politik membawa ancaman serius bagi kemajemukan dan demokrasi. Ketika politik diangkat menjadi sesuatu yang sakral, ruang untuk kritik dan perbedaan pendapat semakin menyempit, yang pada akhirnya merusak persatuan bangsa. Dalam menghadapi fenomena ini, masyarakat harus tetap waspada, mendukung literasi politik, dan menghargai perbedaan. Dengan begitu, kita bisa mencegah bahaya sakralisasi politik dan tetap menjaga keutuhan bangsa dalam keberagaman.
This post was last modified on 1 Oktober 2024 11:25 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…