“hancurkan semua, hancurkan semua, hancurkan semua”. Begitulah suara menggelegar besautan antara satu dengan lainnya. Di sela suara-suara sangar itu, ada jeritan dan tangisan memilukan dari anak-anak yang terguncang kejadian itu.
Kembali lagi luka kebebasan agama terjadi. Insiden pembubaran kegiatan doa dan pengajaran agama yang berlangsung di rumah warga di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang pada 27 Juli 2025, adalah alarm keras bagi bangsa ini.
Bukan hanya karena tindakan perusakan yang brutal, tetapi trauma psikologis yang dialami anak-anak yang tengah mengikuti kegiatan tersebut lebih menyakitkan. Dalam video yang beredar luas, terdengar jerit ketakutan anak-anak yang menyayat hati, menyaksikan orang dewasa datang membawa balok kayu, menghancurkan jendela, merusak kursi, dan meneriakkan kebencian.
Tragisnya, peristiwa tersebut kemudian dibingkai sebagai “salah paham”. Dikatakan bahwa warga hanya salah mengerti, karena rumah itu diduga dijadikan tempat ibadah tanpa izin. Untuk kesekian kalinya, alasan itu selalu diputar ulang. Tidakkah kita menanyakan lebih dalam tentang akar masalah yang berulang ini?
Kita perlu bertanya lebih jujur: apakah benar hanya salah paham? Atau ada paham yang salah yang sudah lama mengendap di sebagian masyarakat? Paham yang mudah menyulut dan memprovokasi orang lain untuk berbuat kekerasan.
Dalih Izin, Dalih Kekerasan : Melupakan Akar Masalahnya
Persoalan izin rumah ibadah telah lama menjadi isu yang berulang kali memicu konflik. Ironisnya, alih-alih menjadi alat administratif untuk memastikan keteraturan, isu ini kerap digunakan sebagai dalih untuk membenarkan kekerasan. Padahal, dalam konteks kejadian di Padang, kegiatan yang berlangsung adalah pengajaran dan pelayanan agama untuk anak dan doa bersama. Ini adalah sebuah aktivitas yang sangat personal dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Logika “tidak ada izin” seolah menjadi kartu bebas untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Bahkan terhadap anak-anak. Ini jelas tidak hanya menyangkut persoalan hukum, tetapi krisis dalam pemahaman keagamaan dan konsepsi tentang hidup bersama dalam negara yang beragam.
Kita menghadapi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar “salah paham”. Kita berhadapan dengan paham yang salah—paham yang menganggap bahwa kehidupan keagamaan umat lain sebagai ancaman, bukan sebagai kenyataan sosial yang harus dihargai. Paham yang menganggap bahwa keyakinannya membolehkan kekerasan jika umatnya diganggu dengan perbedaan.
Paham ini lahir dari doktrin eksklusivisme keagamaan yang menolak keberagaman sebagai bagian dari realitas bangsa. Paham ini menganggap Indonesia hanya milik satu golongan saja, dan yang lain harus menyingkir atau tunduk. Jika tidak, maka kekerasan dianggap sah.
Ini bentuk intoleransi dan radikalisme dalam bentuk paling vulgar. Sayangnya, radikalisme tidak selalu tampil dengan bom dan senjata. Kadang hadir dalam rupa pasal-pasal administratif, desakan massa, ketertiban masyarakat dan suara mayoritas yang menekan hak-hak minoritas.
Negara Harus Tegas: Tidak Cukup Jeratan Hukum
Peristiwa Padang jelas mencoreng nilai-nilai Islam. Islam sejati tidak pernah membenarkan kekerasan, apalagi terhadap anak-anak yang sedang belajar agama. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menyakiti orang dzimmi (non-Muslim yang hidup damai di tengah umat Islam), maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.”
Dalam konteks kehidupan berbangsa, Islam mengajarkan prinsip ta’ayush (hidup berdampingan) dan menghormati perbedaan. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri menjamin kebebasan beribadah komunitas non-Muslim di bawah naungan Piagam Madinah—dokumen kenegaraan pertama yang menjamin persamaan hak warga negara tanpa diskriminasi agama.
Jadi, sangat tidak berdasar ketika tindakan anarkis di Padang itu dikaitkan atau bahkan dibenarkan atas nama Islam. Itu bukan cerminan dari umat Islam dan sikap islami. Itu adalah tindakan yang sangat memalukan umat dan layak dikutuk dan dikecam.
Apa yang terjadi sejatinya bukan karena salah paham, tetapi karena paham yang salah dan menyesatkan. Tindakan kekerasan seperti ini harus dijawab dengan proses hukum yang tegas. Tidak boleh ada impunitas terhadap tindakan kekerasan yang membahayakan sendi-sendi hidup beragama.
Namun hukum saja tidak cukup. Kita butuh revisi regulasi, edukasi publik, dan penguatan tafsir agama yang lebih moderat dan toleran. Pemerintah dan lembaga keagamaan harus hadir memberikan pendidikan keberagaman sejak dini. Kurikulum pendidikan harus mendorong pemahaman bahwa Indonesia adalah rumah bersama, dan agama tidak bisa dijadikan alasan untuk membungkam atau menindas umat lain.
Peristiwa di Padang adalah tamparan keras bagi bangsa ini. Jika kegiatan doa dan pendidikan agama anak-anak bisa dibubarkan dengan kekerasan, lalu apa artinya jaminan konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama?
Kita tidak sedang menghadapi sekadar salah paham antarwarga. Kita sedang menghadapi persoalan serius paham yang salah sebagian masyarakat. Dan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan klarifikasi—harus ada perubahan paradigma.
Yang kita perlukan adalah peneguhan nilai kemanusiaan, pemahaman agama yang ramah, serta keberanian negara dan masyarakat sipil untuk merawat ruang publik yang inklusif.
Karena sejatinya, Indonesia adalah rumah besar untuk semua. Dan rumah itu hanya bisa berdiri teguh jika kita semua bisa saling menjaga dan menghargai. Bukan saling mengintimidasi apalagi menghancurkan.
Fanatisme kelompok adalah salah satu tantangan serius yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam menjaga harmoni sosial…
Pergesekan antar ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terjadi di Pemalang, serta konflik senjata yang terjadi antara…
Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap…
Wacana yang memisahkan ulama menjadi “pribumi” dan “impor” adalah konstruksi sosial yang lemah secara historis…
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…
Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…