Pertempuran ideologi dan gerakan keagamaan di era global berkembang dengan bebas, meluas dan tidak terkendali menjangkau hampir ke semua lapisan dan segmen masyarakat, termasuk kelompok remaja yang hidup dalam rentang usia lima belas sampai dua puluh tahun, yang merupakan prototipe dari simbol masa depan masyarakat.
Berbagai organisasi massa dan gerakan keagamaan mulai dari Islam radikal, militan, moderat-progresif hingga liberal mencoba mengekspresikannya sebagai identitas sesuai kepentingan masing-masing, dari kegiatan dan minat masyarakat melalui diskursif kegiatan yang dinamis. Sehingga hal ini menyuburkan ideologi radikal dan gerakan keagamaan yang semakin intensif dan masif berdakwah untuk mencari identitas masing-masing.
Sebagaimana dikutip dari tulisan Moh. Roqib “The Role of Teacher in Counteracting the Transnational Religious Ideology of Khilafah” menunjukkan sebuah surve yang mencegangkan dari penelitian Center for Islamic and Community Studi (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017, menunjukkan 50% gerakan dan ideologi radikalisme telah masuk mempengaruhi kelompok remaja terutamanya dalam sekolah-sekolah menengah.
Mirisnya telah banyak dari kalangan remaja yang setuju dan menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dengan menerapkan syariah, ingin mendirikan model khilafah. Meski NKRI sudah menjadi keputusan final Bangsa Indonesia, temuan di atas justru menunjukkan dinamika konflik, pergeseran, pertikaian, dan hegemoni masuk mengusik kembali hubungan antar agama dan bangsa. Sudah sejak dulu. Pada umumnya, pemahaman dan gerakan politik dikerutkan menjadi dua model: Islamis yang menginginkan agama dan negara yang benar-benar terintegrasi-sekuler—pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia adalah negara yang lahir dengan keberagaman, dalam arti suku, bahasa, tradisi dan agama. Meskipun Muslim merupakan mayoritas dan bahkan Indonesia adalah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukan Negara Islam (Indonesia is not an Islamic state). Dengan karakteristik tersebut, Indonesia sangat cenderung menjadi sasaran penerapan Islam Formalistik, terutama oleh gerakan agama transnasional seperti Khilafah (A. M. Dja’far, 2018).
Pelan-pelan mereka akan menggiring opini, karena targetnya orang-orang secara tidak sadar mengikutinya pola pikir mereka dan kemudian mengikuti model gerakan mereka. Tentu ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan tegaknya NKRI. Mengancam negara Indonesia karena mempunyai wawasan dan melakukan aksi yang bertentangan dengan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI). Jika ada gerakan yang bertentangan dengan 4 pilar tersebut, maka gerakan tersebut—sekecil apapun itu—dapat disebut sebagai gerakan ekstrem (radikal) yang harus diwaspadai dan perlu ditanamkan nilai-nilai luhur keindonesiaan.
Remaja dan Internet
Kekuatan penyebaran Islam transnasional seperti HTI selalu memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatian masyarakat. Ia menyebar dengan senyap, merayap dengan strategi-strategi yang canggih. Salah satunya, saya kutip dari NU Online (02/05/18) kecakapan dalam pemanfaatan internet dan media sosial. Melalui internet mereka bisa menjangkau warganet secara luas. Dari ratusan ribu atau jutaan yang menonton atau membaca informasi yang diunggah, dalam persentase tertentu mereka telah terdoktrinasi. Dari situ, tinggal membina, membangun jejaring dan merawatnya untuk memperkuat posisi dan suatu saat dimanfaatkan bagi kepentingan kelompoknya.
Pengguna internet yang paling banyak rata-rata dari kalangan remaja. Minimnya pengetahuan terhadap agama Islam menjadi pintu masuk paling gampang untuk menggerogoti dengan ideologi yang mereka ajarkan.
Syahdan, para remaja dan pemuda yang telah terindoktrinasi ajaran radikal ibarat sebuah bibit baru yang akan tumbuh, saat ini mereka tidak menimbulkan bahaya apa pun bagi masyarakat, tapi semaian yang terus dipupuk dan dirawat dengan paham-paham radikalisme akan menjadi sangat berbahaya pada 20-30 tahun mendatang ketika mereka sudah dewasa, memiliki kekuasaan, sumberdaya atau akses tertentu.
Selanjutnya, sekolah adalah sumber kedua yang paling subur ketika seorang guru tidak memiliki kualifikasi keilmuan keagamaan yang jelas. Banyak sekolah-sekolah yang terpapar ideologi radikalisme sehingga mencekoki siswanya dengan ajaran-ajaran kekerasan dalam Islam.
Sebagaimana survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo, seorang guru besar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Dikutip dari BBC News (2505/16) bahwa hasil dari Peneliti Maarif Institute, melihat iklim radikalisme masuk di kalangan remaja melalui sekolah-sekolah karena dari aspek sisi kebijakan, proses pembelajaran di kelas dan proses esktrakulikuler yang membuat radikalisme menguat terlalu welcome. Ada sekolah yang terlalu permisif yang membolehkan kelompok radikal masuk di dalamnya dengan mengatasnamakan bimbingan belajar dan konseling. Wallahua’lam..
This post was last modified on 28 September 2020 7:56 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…