Jika ingin mendamaikan dua pihak yang bertikai, maka langkah paling riil adalah dengan tidak memihak kepada salah satu pihak. Ini adalah logika sederhana, tetapi dalam realitanya sangat sulit kita laksanakan. Dalam konteks konflik Israel-Palestina misalnya, kita bukan saja tidak bisa bersikap di tengah, malah terjebak pada luapan emosi yang menggebu-gebu, memojokkan satu pihak, sambil membela habis-habisan pihak lain.
Selama masih ada permusuhan, perdamaian tak akan tercapai. Selama masih kita memojokkan satu pihak, solusi rasional takkan tergapai. Selama kita masih mengutuk satu kelompok, sembari memuja dan memuji kelompok lain, pertikaian tak akan selesai.
Rumus sederhana ini ternyata sangat sulit kita terapkan dalam melihat konflik antara Israel dan Pelestina. Kita masih lebih mengedepankan sikap emosional ketimbang sikap rasional. Solidaritas yang kita bangun pun masih solidaritas kerana satu pihak sama agamanya dengan agama kita.
Bagaimana jika sebaliknya? Artinya, pihak yang seagama dengan kita itu justru yang melakukan kezaliman, yang menyebabkan ratusan korban termasuk anak kecil? Apakah kita masih tetap menyuarakan pentingnya solidaritas? Apakah kita masih mati-matian teriak di media sosial akan bahaya kebrutalan? Apakah kita masih sigap mengumpulkan donasi dan sumbangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita jawab. Sebab, jangan-jangan solidaritas yang kita klaim sebagai solidaritas kemanusiaan justru itu adalah solidaritas politik atau solidaritas ideologi kelompok kita. Jika itu yang terjadi, kita bukan hanya mustahil menawarkan jalan damai, malah ikut memperlebar jurang permusuhan itu sendiri.
Gus Dur dan Sikap Rasional
Dalam menyikapi konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina, kita sepatutnya perlu belajar kepada Gus Dur, sosok guru bangsa yang mempunyai pandangan rasional dan sikap yang realistis.
Bagi Gus Dur, perdamaian itu tak akan terwujud jika tak disertai dengan keadilan. Keadilan di sini tentu masksudnya tidak memihak kepada salah satu pihak sambil menafikan pihak lain. Sikap adil itu adalah bersikap di tengah, merangkul kedua belah pihak, dan mengakomodasi pihak yang bertikai.
Itulah sebabnya dari dulu –dan ini Gus Dur lakukan waktu beliau menjadi presiden –pentingnya dioalog antara hati ke hati. Perdamaian bisa terwujud jika eksistensi kedua belah pihak diakui. Perdamaian bisa terealisasi jika kita sudah menanggalkan permusuhan dari hati kita masing-masing.
Gus Dur pergi ke Israel, melakukan dialog, konon beliau ingin melekukan hubungan diplomatik dengan Israel. Itu semua beliau lakukan sebagai realisasi pentingnya mengakui eksistensi kedua belah pihak yang bertikai. Hanya dengan menghargai kedua belah pihaklah kita bisa mewajudkan perdamaian di antara keduanya.
Gus Dur tidak mau terjebak pada sikap dan tindakan yang utopis dan tidak riil. Sikap yang utopis itu adalah menginginkan perdamaian, tetapi dengan jalan memojokkan dan mengutuk salah satu pihak. Sikap tidak riil itu adalah menginginkan perdamaian tetapi tetap saja masih memelihara sikap permusuhan. Tentu perdamaian mustahil terwjud.
Sikap Kita Sekarang?
Jika kita berkaca pada sikap Gus Dur, kita sebenarnya masih terjebak pada sikap emosional-sektarian. Kita masih mengutuk satu pihak, memojokkan satu kelompok, sambil meninggikan dan memuja-muji pihak kelompok lain.
Setiap hari kita mengutuk Israel. Mengatainya di media sosial dengan kata-kata brutal, tak berprikemanusian, tak beradab. Tetapi, kita lupa satu hal, mengapa itu semua terjadi. Apa akar masalahnya, bagaimana sejarahnya. Jika pihak Israel melakukan kebiadaban, apakah pihak yang Pelastina (dalam hal ini Hamas) tidak melakukan hal yang sama?
Kita masih membela sesuatu karena sama agamanya dengan kita. Kita belum berani keluar dari lingkaran kotak agama kita. Cara pandang kita masih cara pandang keagamaan. Memang betul, Israel melanggar HAM, akan tetapi bukankah hal yang sama juga dilakukan oleh pihak yang kita bela?
Sikap emosional-sektarian tidak akan menyelesaikan masalah, malah memperkeruh masalah itu sendiri. Kita boleh membela dan mengumpulkan donasi, tetapi dengan cara-cara rasional seperti Gus Dur lakukan.
Meminjam bahasa Luthfi As-Syaukanie, setiap kali terjadi konflik Isarel-Palestina saya merindukan Gus Dur. Sebab, dia adalah pemimpin yang mempunyai sikap rasional dan riil. Jika kita tak bisa menghidupkan Gus Dur lagi, tentu sikap paling elegan adalah belajar kepada Gus Dur bagaimana menyikapi konflik itu. Caranya tentu tidak lain adalah sikapilah konflik itu dengan rasional bukan emosional.
This post was last modified on 20 Mei 2021 3:04 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…