Narasi

Belajar Kesetiakawanan Sosial Dari Gus Dur

Menguatnya politik identitas akhir-akhir ini, banyak kalangan yang melupakan persaudaraan atau kesetiakawanan sosial yang lebih luas. Narasi yang berkembang adalah kesetiakawanan sosial dalam lingkup kecil yaitu kelompoknya sendiri. Banyak orang yang mengultuskan kelompoknya, sehingga lupa terhadap kesetiakawanan sosial yang lebih luas, yaitu kesetiakawanan antar rakyat Indonesia.

Kesetiakawanan sosial yang lebih luas dicontohkan oleh Gus Dur. Ia tidak hanya melakukan kesetiakawanan sosial dalam lingkup internal kelompoknya, lebih luas ia berkawan dengan siapapun. Ia berkawan dengan tokoh agama Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Ia pun bersolidaritas terhadap rakyat kecil yang diambil haknya. Ketika rakyat yang ada di Kedung Ombo Purwodadi akan digusur pada waktu orde baru, Gus Dur membela mereka. Gus Dur datang untuk memberi dukungan terhadap rakyat kecil.

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur mengatakan bahwa watak bangsa Indonesia selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan kelompok. Kenyataan itu menurutnya tidak dapat ditolak oleh siapapun. Saat diwawancarai oleh Kompas (17/03/09), Gus Dur menganggap bahwa Bangsa Indonesia sesungguhnya masih memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi. Itu sebabnya, menurut Gus Dur berbagai kesulitan yang dihadapi bangsa ini akan selalu mendapatkan solusi.

Gus Dur melandasi kesetiakawanan sosial pada nilai kemanusiaan, keadilan serta pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD-45. Melalui nilai-nilai tersebut, ia banyak berkontribusi terhadap masyarakat, baik ketika ia menjadi rakyat, pemimpin di Nahdlatul Ulama atau ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Ia banyak membela orang yang terpinggirkan, tidak menerima keadilan.

Orang-orang yang  menjadi murid Gus Dur atau yang melanjutkan pemikiran dan perjuangannya, sekarang dikenal Jaringan Gusdurian, mengklasifikasikan nilai-nilai yang menjadi landasan perjuangan Gus Dur. Nilai-nilai tersebut ada sembilan, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, kearifan lokal. Dari nilai-nilai tersebut, Gus Dur kemudian banyak membela orang-orang yang terpinggirkan.

Banyak orang yang tidak paham terhadap tindakan yang dilakukan oleh Gus Dur. Termasuk ketika ia membela kelompok Ahmadiyah, Tionghoa, upayanya pencabutan TAP MPRS mengenai pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme serta komunisme di Indonesia, banyak orang yang tidak paham cara berpikir Gus Dur. Para pengkritiknya banyak menganggap Gus Dur yang macam-macam.

Kebijakan atau sikap yang dilakukan oleh Gus Dur lebih jauh adalah membela kemanusiaan, kesetaraan hak serta keadilan daripada membela kelompok tertentu. Penulis menganggap, apabila ada ketidakadilan serta penindasan, Gus Dur ada di depan barisan untuk membelanya. Entah dari kelompok mana pun dan siapapun, Gus Dur memperjuangkan kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.

Kesetiakawanan Nasional

Apabila setiap orang mempunyai dasar perjuangan berbasis nilai, seperti keadilan, kemanusiaan dan nilai-nilai yang dicontohkan oleh Gus Dur, kesetiakawanan sosial yang lebih luas akan mudah tergapai. Kesetiakawanan yang berlandaskan pada kelompok akan mempertebal gesekan-gesekan antar kelompok. Bahaya klaim kebenaran kelompok akan mewabah, sehingga perbedaan dianggap sebagai hal yang tabu.

Mewujudkan kesetiakawanan sosial dan persaudaraan nasional harus berlandaskan pada nilai-nilai tersebut. Nilai yang telah diajarkan oleh Gus Dur, harus senantiasa menjadi landasan dalam perjuangan. Karena perjuangan berbasis nilai tidak akan lekang oleh waktu.

Perbedaan agama, budaya, ras, suku serta bahasa tidak akan menjadi persoalan yang signifikan dalam mewujudkan kesetiakawanan sosial apabila mempunyai pandangan yang luas. Misalnya dalam perbedaan agama, orang yang memegang teguh nilai-nilai agama ia tidak akan mudah menerima perbedaan. Ia juga akan mudah mewujudkan kesetiakawanan sosial. Berbeda ketika orang yang mengutamakan formalisasi agama tanpa memahami substansi agama, ia tidak mudah menerima perbedaan. Ia cenderung fanatik terhadap kelompoknya. Bahkan ia akan mengalami kesulitan ketika mewujudkan kesetiakawanan sosial dengan orang yang berbeda dengannya.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

7 jam ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

8 jam ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

8 jam ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

1 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

1 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

1 hari ago