Narasi

Kesetiakawanan Mencegah Pertikaian Bangsa

Operatie Kraai (Operasi Gagak) dilakukan Belanda pada 19 Desember 1948. Hal ini dimaksudkan untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang dimiliki oleh Indonesia. Dari pihak Belanda, Jenderal Spoor langsung memerintahkan pasukan Belanda yang berada di Indonesia untuk melakukan serangan. Yogyakarta, yang ketika itu berstatus sebagai ibu kota Indonesia, menjadi target utama. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda. Akibat agresi ini, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta akhirnya ditawan oleh penjajah. Pada 20 Desember 1948, seluruh komponen rakyat Indonesia langsung bahu membahu untuk melakukan perlawanan dan pengorbanan. Masing-masing pihak memberikan kontribusi terbaiknya untuk terus mempertahankan NKRI yang belum genap berusia 5 tahun. Dari spirit dan semangat berbagi itulah, pada 20 Desember 1949 (setahun lebih sehari sejak agresi militer Belanda), ditetapkan sebagai Hari Sosial (kelak berubah menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial).

Kesetiakawanan adalah konsep yang perlu dihidupkan dalam kehidupan bermasyarakat. Setia menunjukan kepada sikap loyal, keinginan berbagi, dan gemar untuk membantu. Jika suatu bangsa memiliki tingkat kesetiakawanan yang tinggi, niscaya akan menjadi bangsa yang kokoh dan kuat. Sementara bangsa yang tingkat kesetiakawanan yang rendah, pasti akan penuh dengan konflik dan pertentangan. Oleh sebab itu, semangat kesetiakawanan harus terus dinyalakan di seluruh penjuru Indonesia. Sehingga dapat memberikan cahaya persahabatan antar anak negeri.

Tapi hal yang perlu digarisbawahi, kesetiakawanan harus dimaknai dalam arti positif. Artinya implementasinya mengandung nilai-nilai kebaikan. Sebab masih banyak yang salah kaprah memahami makna setiakawan. Mereka menganggap setiap usaha membantu kawan disebut dengan setiakawan. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Banyak perilaku menolong teman yang justru merusak. Dan hal inilah yang perlu dihindari. Contoh mudah dan sering kita dengar adalah tawuran pelajar antar sekolah yang mengatasnamakan kesetiakawanan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip kesetiakawanan. Sebab hakekat kesetiakawanan adalah mengokohkan persatuan antar sesama. Bukan justru merenggangkan dan membuat konflik diantara masyarakat.

Kita bisa belajar dari sikap dan perilaku kesetiakawanan yang ditunjukan oleh NU. Di era Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, anak-anak muda NU (Banser) banyak dikerahkan untuk membantu menjaga perayaan Natal umat Kristiani. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi gangguan yang merusak ketenangan malam natal. Tradisi seperti ini sebelumnya tidak pernah ada. Dan hingga kini, kegiatan penjagaan itu terus rutin dilaksanakan hingga kini. Aktivitas ini bisa disebut sebagai bentuk kesetiakawanan terhadap pihak yang berbeda. Bahwa apapun agama dan keyakinan yang dianut, kita adalah bersaudara. Persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan cara inilah kita bisa menjadi bangsa yang besar dan kuat.

Salah satu ancaman terbesar kesetiakawanan adalah adu domba. Hubungan perkawanan akan renggang dan bahkan berubah menjadi memusuhi. Dua orang sahabat karib, bisa bertengkar gara-gara fitnah dari hasil adu domba. Bahkan tidak hanya sahabat, hubungan antar anak bangsa pun bisa berubah dari kasih sayang menjadi pertikaian. Fenomena ini yang marak terjadi pada bangsa ini. Antar sesama Muslim, kerap berselisih. Terhadap pemeluk agama yang berbeda, gemar bertikai. Bahkan tidak jarang berujung pada bentrok dan tindakan kekerasan. Lihat saja, bagaimana persekusi antar anak bangsa beberapa kali terjadi akibat provokasi yang dilakukan pihak-pihak yang tidak senang dengan persatuan. Hal inilah yang harus dihindari dengan serius.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk makin menguatkan kesetiakawanan kita sebagai sesama anak bangsa. Pertama, kita harus sadar hakekat pluralitas. Masing-masing orang memiliki pandangan dan keyakinan yang sesuai dengan pengalamanan dan persepsinya. Tidak boleh ada pemaksaan terhadap pandangan dan keyakinan orang lain. Sikap lapang dada terhadap keberagaman harus ditanamkan pada diri kita masing-masing. Kedua, ringan tanganlah dalam membantu orang lain. Sadarilah, bahwa kita sama-sama mahluk tuhan yang mendiami bumi yang sama. Jika Sartre pernah mengungkapkan bahwa hell is other people, maka kita ubah ungkapan tersebut menjadi ‘kita adalah surga bagi orang lain’. Artinya kehadiran kita memberi kebahagiaan dan manfaat untuk pihak liyan. Dan itulah makna penting dari kesetiakawanan.

This post was last modified on 18 Desember 2017 4:19 PM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

2 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

2 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

3 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

3 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

3 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

4 hari ago