Narasi

Bencana karena Tidak Menegakkan Khilafah, Inilah Kisah Bencana di Era Khilafah

Bencana alam telah menimbulkan polemik berkepanjangan di kalangan umat Islam selama ini. Setidaknya ada dua pandangan mainstream di kalangan umat dalam memahami bencana alam. Pandangan pertama meyakini bahwa bencana alam merupakan fenomena alam sekaligus bukti kemahakuasaan Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya. Pandangan yang demikian ini umumnya muncul dari kalangan muslim moderat.

Pandangan kedua mempercayai bahwa bencana alam merupakan azab dari Tuhan yang murka terhadap dosa-dosa yang diperbuat manusia. Pandangan ini datang dari kalangan muslim konservatif-radikal. Dalam keyakinan mereka, bencana alam adalah hukuman karena manusia lalai menjalankan perintah agama. Pandangan ini juga mengemuka dalam konteks keberagamaan di Indonesia.

Saban kali terjadi bencana, kelompok konservatif-radikal selalu mencari kambing hitam yang sebenarnya tidak masuk akal. Misalnya, ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, kaum konservatif melontarkan narasi bahwa gempa itu terjadi karena masyarakat Yogyakarta gemar melakukan tradisi-tradisi yang dicap kafir. Seperti memberikan sesajen, melakukan upacara larung ke lautan, dan tradisi-tradisi lainnya.

Bencana Alam di Era Kekhalifahan

Kini, ketika gempa mengguncang Cianjur, narasi mencari kambing hitam kembali muncul. Kali ini, kaum konservatif-radikal menyangkut-pautkan peristiwa gempa dengan penerapan syariah dan penegakan khilafah. Mereka meyakini, gempa Cianjur terjadi karena pemerintah Indonesia tidak menerapkan hukum Islam dan mendirikan pemerintahan Islam berdasar khilafah.

Kelompok konservatif radikal juga mengklaim bahwa jika khilafah tegak, maka negara akan bebas dari peristiwa bencana alam. Benarkah demikian? Mari kita cek fakta-faktanya. Nadirsyah Hosen dalam artikelnya berjudul “Bencana Alam Sebagai Azab Allah?” menjelaskan bahwa di zaman Umar bin Khatab pernah terjadi gempa bumi. Lebih lanjut, Hosen menyebutkan bahwa Pada masa Khalifah al-Mu’tadhid terjadi gempa bumi yang menelan korban 150 rubu jiwa.

Lalu dimasa Khalifah al Mutawakkil, terjadi bencana gempa bumi, angin ribut, cuaca buruk, hujan es dan tanah longsor yang juga menelan korban puluhan ribu orang. Sedangkan di masa Khalifah al Nashir Lidinillah, terjadi bencana kekeringan akibat surutnya air sungai Nil. Bencana itu berdampak pada terjadinya badai kelaparan yang menewaskan banyak orang.

Sederet fakta sejarah sebagaimana dikutip dari Hosen di atas membuktikan bahwa sistem khilafah tidak serta-merta membuat manusia bebas dari bencana alam. Fakta sejarah di atas juga membuktikan bahwa khilafah bukanlah sistem yang paling sempurna dalam menghadapi dan mengantisipasi bencana. Buktinya, di era kekhalifahan banyak terjadi bencana alam yang menewaskan puluhan ribu bahkan ratusan ribu nyawa.

Penanganan bencana alam, baik pra maupun pasca, sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan sistem pemerintahan atau politik sebuah negara. Negara Tiongkok dan Jepang yang bukan negara Islam dalam banyak hal punya mekanisme mitigasi dan rekonstruksi serta rehabilitas bencana yang nisbi jauh lebih bagus ketimbang negara-negara seperti Afganistan atau Pakistan yang mengkliam sebagai negara Islam.

Tiongkok dan Jepang dikenal memiliki mekanisme mitigasi kebencanaan yang mumpuni karena mereka mau belajar dari sejarah. Sebagai negara yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, mereka giat membangun teknologi yang memungkinkan dampak bencana alam dapat diminimalisasi. Mereka juga gencar mengedukasi warganya agar memiliki kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Membangun Sistem Deteksi Dini Bencana

Di era modern seperti saat ini, fenomena bencana alam idealnya diselesaikan dengan pendekatan sains dan teknologi. Kita ambil contoh di Jepang misalnya yang beberapa kota dan provinsinya rawan gempa serta tsunami. Selama puluhan tahun terakhir mereka mengembangkan sistem deteksi dini tsunami yang terintegrasi secara nasional dan berbasis jaringan internet.

Maka, ketika terjadi gempa dan tsunami peringatan dini akan disampaikan ke telepon pintar masing-masing warga. Hal ini memungkinkan masyarakat bisa menyelamatkan diri sebelum tsunami datang. Sistem deteksi dini tsunami ini terbukti menurunkan jumlah korban tsunami dari tahun ke tahun di Jepang.

Dari sini kita belajar bahwa solusi mengatasi bencana alam bukanlah menegakkan syariah apalagi mendirikan sistem khilafah islamiyyah. Melainkan mengembangkan teknologi kebencanaan sekaligus membangun masyarakat yang memiliki kewaspadaan, kesiapsiagaan, dan ketangguhan menghadapi bencana alam. Ini sekaligus juga membantah bahwa bencana alam akan menimpa negara yang tidak menjalankan syariah dan menegakkan khilafah.

Bencana alam adalah fenomena ekologis sekaligus geologis. Bencana alam dalam beragam bentuknya bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja. Maka, nalar tafsir yang memahami bencana sebagai azab kiranya tidak lagi relevan diterapkan di era modern seperti saat ini. Ke depan yang kita butuhkan ialah membangun early warning system terkait kebencanaan yang mapan dan solid.

Tidak kalah pentingnya untuk memberikan edukasi terkait pencegahan dan mitigasi bencana. Sekaligus membangun kesadaran bahwa bencana alam adalah musibah dan ujian yang tidak perlu disikapi dengan mencari kambing hitam. Apalagi sampai menuding pemerintah dan sistem politik sebagai penyebab bencana alam.

This post was last modified on 2 Desember 2022 2:48 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

9 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

9 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago