Narasi

Bencana Menyadarkan Pentingnya Khalifah

Bencana sejatinya konstruksi manusia dalam berhadapan dengan peristiwa alam yang dahsyat. Gempa, banjir, longsor dan badai tidak menjadi bencana ketika tidak menimpa kehidupan manusia. Ia hanya menjadi peristiwa alam biasa yang bisa ditonton sebagai kejadian gerak bumi. Karena itulah, bencana adalah sebuah proses hubungan antara alam dan manusia.

Dalam setiap agama, hubungan antara manusia dan alam sekitar, terutama, Islam sangat ditekankan. Manusia tidak hanya hidup sendiri di alam semesta, tetapi ada makhluk lain yang diciptakan Tuhan baik makhluk hidup maupun bendawi. Semuanya harus selaras dan sejalan membentuk ritme yang harmonis.

Peristiwa bencana sejatinya mengingatkan kembali hubungan antar manusia dan alam. Hubungan keduanya harus dibangun di atas keserasian dan harmoni. Perspektif yang paling tepat dalam mengambil hikmah sebuah bencana alam adalah memperbaiki hubungan antara manusia dan alam.

Di sinilah pentingnya pemahaman manusia sebagai khalifah. Dalam bencana tidak lagi berbicara tentang butuhnya sistem khilafah dalam suatu negara, tetapi yang terpenting adalah membangun jati diri khalifah sesuai dengan titah Tuhan dalam kitab suci. Apa itu khalifah?

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah : 30).

Ayat ini sering pula dijadikan justifikasi oleh kelompok tertentu tentang kewajiban menegakkan sistem khilafah politik kekuasaan. Padahal, sejatinya ayat ini berbicara tentang jati diri manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas merawat dan menjaga hubungan yang baik dengan alam semesta. Merawat bumi dan bersahabat dengan lingkungan adalah tugas manusia sebagai khalifah.

Tidak jarang pula ada narasi yang dikembangkan bahwa bencana alam terjadi karena tidak adanya sistem khilafah yang diterapkan di wilayah dan negara tersebut. Tentu saja, ini merupakan narasi yang memaksakan diri dan terlalu berlebihan. Sejatinya, bencana menyadarkan manusia tentang jati dirinya sebagai khalifah. Bukan khalifah dalam bentuk kekuasaan politik, tetapi khalifah penjaga bumi sebagaimana ayat di atas.

Bencana sendiri hadir sebagai intropeksi manusia untuk mengingat kembali jati diri sebagai khalifah. Menurut Quraish Shihab dalam Membumikan Alquran kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling terkait, yaitu (1) manusia, (2) alam raya, (3) hubungan manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk manusia. Hal ini berarti bahwa tanngung jawab manusia sebagai khalifah terletak pada penataan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengembangan tata lingkungan yang berkelanjutan, termasuk dalam mengantisipasi bencana akibat peristiwa alam.

Bencana menyadarkan kita bukan kepada adanya sistem kekhilafahan yang sering dipropagandakan kelompok pengasong khilafah, tetapi mengingatkan kita tentang tugas manusia sebagai khalifah yang bertugas dalam berhubungan alam sekitar.  Hubungan antara manusia dengan alam harus kembali dirawat. Alam selalu memberikan tanda terhadap manusia kapan itu bisa berbahaya dan kapan layak ditinggali dengan nyaman. Tanda-tanda itu akan bisa dirasakan oleh manusia ketika berhubungan secara baik dengan alam sebagai makhluk Allah yang disediakan untuk manusia.

Menjadi khalifah adalah titah Tuhan kepada manusia. Karena itulah, manusia bertanggungjawab untuk merawat, mengelola dan menjamin keberlangsungan hidup. Tuhan memberikan kelebihan kepada manusia untuk mengelola, tetapi bukan berarti mengeksploitasi secara semena-mena. Sebagai khalifah Allah sudah memperingatkan dengan tegas : “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” (QS. Al-A’raf: 56). Menjadi khalifah berarti menjaga keselarasan dan keseimbangan alam sekitar. Prinsipnya jika manusia mampu menjaga alam, alam sekitar juga akan menjaga manusia dan memberikan peringatan melalui tanda-tanda alam. Keseimbangan antara manusia dan alam menjadi kunci peran khalifah.

This post was last modified on 29 November 2022 1:58 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago