Narasi

Berbeda Iman dalam Pertemanan, Kenapa Tidak?

Tidak ada sekat persahabatan dan pertemanan karena beda agama. Tidak ada sekat untuk berempati dan merasa kehilangan karena berbeda keimanan. Praktek toleransi ini sungguh memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk tetap hidup rukun dan merawat persaudaraan dan persahabatan dalam perbedaan.

Berbagi makanan dan sapaan saat hari raya keagamaan bukan praktek yang bisa menggadaikan keimanan. Pelajaran seperti ini patut dicontoh di tengah sebagian kecil pandangan masyarakat yang mulai alergi dengan kata-kata “lintas agama” dan toleransi. Pertemuan dan perkumpulan lintas agama ditolak karena dianggap mendangkalkan akidah. Memiliki teman yang berbeda, berkumpul dengan tetangga yang berbeda dan mewujudkan kampung toleransi dianggap mendangkalkan akidah. Sungguh ironi umat saat ini.

Di tengah keberagaman seperti saat ini, sebagai umat Islam penting sekali bagaimana meneladani Rasulullah dalam pertemanan. Rasulullah tidak membeda-bedakan keyakinan dalam interaksi sosial. Sementara umatnya, kadang selalu keras tak berdasar dengan tidak mau berinteraksi dengan umat lain. Bahkan mereka kadang tidak mau bertransaksi dengan umat non muslim. Imam Bukhari dakam Shahih Bukhari menceritakan Nabi yang pernah menggadaikan baju perangnya kepada pedagan yang beragama Yahudi.

Hal ini membuktikan bahwa Rasul sangat ketat dalam persoalan akidah, tetapi Nabi tidak pilah pilih dalam persoalan sosial. Interaksi Nabi tidak dibatasi oleh perbedaan agama. Inilah contoh yang diberikan oleh sang teladan kepada umatnya.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah menerima tamu lintas agama dengan penuh sopan dan santun. Banyak kisah-kisah Nabi menerima tamu dan kunjungan rombongan yang berbeda agama. Tidak hanya di Madinah ketika Nabi di Makkah sudah sering berinteraksi dan menerima tamu yang berbeda keyakinan. Dari beberapa kisah, di Makkah Nabi pernah menerima rombongan tamu yang terdiri dari pendeta Nasrani Habasyah berjumlah 70 orang. Di Makkah pula Nabi pernah menerima tamu dari kamu kafir Quraisy. Di Madinah pergaulan Nabi tambah luas dengan menerima banyak tamu yang beragam. 

Di lingkungan sosial bertetangga, Rasulullah juga tidak membedakan agama. Suatu ketika Asiyah menyelenggarakan hajatan dengan menyembelih kambing. Setelah hidangan matang, Aisyah membagikan masakannya kepada tetangga sesuai anjuran Nabi ketika masak untuk membagikan kepada tetangga. Nabi berkata, : apakah si fulan juga telah dikirim masakan? “Belum, dia itu Yahudi dan saya tidak akan mengirimnya masakan” ujar Aisyah. Nabi tetap meminta : Kirimilah, walaupun Yahudi, ia adalah tetangga kita.

Inilah praktek bagaimana Rasulullah sangat peduli dengan lingkungan sosial dan pertemanan dengan tidak melihat perbedaan agama. Lalu, kenapa kita menjadi sangat alergi dengan perbedaan?

This post was last modified on 14 Desember 2020 12:22 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

15 jam ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

15 jam ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

15 jam ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

15 jam ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

2 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

2 hari ago