Narasi

(Ber)kurban Ego

Saya selalu berpikir, kenapa Tuhan selalu mengorelasikan aktivitas ibadah (ber-kurban) ke dalam dimensi (kerelaan)? Sebagaimana di dalam sejarah mitologi kurban, Nabi Ibrahim perlu merelakan anaknya yang bernama Ismail untuk disembelih.

Namun, kenyataan demikian pada akhirnya berubah. Setelah Nabi Ibrahim menghapus segala pertimbangan ego dalam dirinya untuk (rela) untuk mengorbankan anaknya. Sehingga, Tuhan memerintahkannya untuk menggantikan anak-nya dengan hewan peliharaan berupa domba untuk disembelih.

Hikayat yang semacam ini jika kita amati, sebetulnya akan selalu berkaitan dengan pranata “diri kita” sebagai manusia yang kadang selalu terbelenggu ke dalam dimensi ego. Sehingga, Tuhan menciptakan skenario yang semacam itu, agar kita bisa melepaskan ego. Di mana, ego akan selalu berimplikasi terhadap apa yang kita inginkan saja “sak karepe dewe”.

Pun, ego akan selalu bertentangan dengan dimensi (kerelaan). Dia seperti batu yang sangat keras dan sangat sulit untuk dipecahkan. Tetapi (kerelaan) akan menjadi palu yang akan merapuhkan segala sesuatu yang membebal dalam diri kita.

Apa implikasi Ego bagi Tindakan diri?

Misalnya dalam contoh kasus, ada begitu banyak di antara kita yang terasa sulit untuk menaati protokol kesehatan (prokes). Seperti halnya di tengah PPKM darurat pandemi. Lantas, jika kita telusuri, ada dimensi (ego) yang secara calculative, sejatinya kita akan selalu memedulikan kepentingan, kemauan dan keinginan diri sendiri untuk bertindak demikian.

Maka, seandainya kita benar-benar rela mengorbankan ego diri. Mencoba untuk mengosongkan segala keinginan, kepentingan dan kemauan diri. Lalu (merelakan) apa yang ada dalam diri kita untuk kepentingan orang banyak (maslahah) di era pandemi misalnya. Niscaya ini sebagai bagian dari penghayatan kurban. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang harus rela mengorbankan anak-nya untuk disembelih.

Maka, relevan saya katakan bahwa Idul Adha sebetulnya tidak hanya sekadar berkurban menyembelih hewan. Tetapi, ini sebetulnya ada makna penting yang perlu kita selami dan perlu kita sadari. Bahwa. Secara kontekstual, kurban di bulan Idul Adha juga penting bagi kita untuk diekspresikan dalam bentuk, kerelaan diri untuk mengorbankan segala ego dalam diri.

Karena, sangat tidak mungkin Nabi Ibrahim benar-benar mau untuk menyembelih anak-nya yang sangat beliau cintai. Jika karena (kerelaan) beliau untuk bisa menghapus segala pertimbangan-pertimbangan ego dalam dirinya, untuk rela mengorbankan anak-nya demi mencapai karunia-Nya.

Dari sini sebetulnya kita memahami, bahwa spiritualitas kurban yang mengarah ke dalam kerelaan sebetulnya adalah cerminan dari kondisi kita. Sebagaimana keadaan kita yang penuh dengan dimensi ego. Untuk berlatih meniscayakan (kerelaan) untuk hadir dalam diri kita.

Sebagaimana perayaan Idul Adha tahun ini, sangat penting bagi kita untuk mengkontekstualisasikan spirit kurban untuk bisa belajar rela mengorbankan ego diri. Yaitu kita perlu belajar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Karena kita perlu memikirkan akan kepentingan orang lain (maslahat) dengan meniscayakan kerelaan di dalam diri.

Tindakan yang demikian memang berat. Karena, sesuatu yang sifatnya (ego) akan selalu menghadirkan semacam alasan, pertimbangan dan segala solusi agar ego itu tetap kokoh. Maka, di sinilah sebetulnya secara fungsional (kerelaan) menjadi point utama dari basis kurban di bulan Idul Adha. Karena, kerelaan sejatinya akan mengosongkan segala pertimbangan dan kemauan diri untuk benar-benar rela mengorbankan sesuatu demi di luar dirinya.            

Seperti halnya di era pandemi covid-19 yang terus melonjak penularan-nya. Hingga pemerintah membuat kebijakan PPKM. Maka, momentum bulan Idul Adha ini, sebetulnya perlu kita jadikan spirit untuk rela mengorbankan ego diri. Demi kepentingan banyak orang (maslahat). Karena memang, tindakan untuk taat prokes perihal kebijakan PPKM sangatlah berat. Karena ada pertimbangan-pertimbangan ego yang membuat kita merasa sulit untuk melakukannya. Tetapi ketahuilah, Nabi Ibrahim juga bisa mengambil keputusan yang berat. Yaitu merelakan anak-nya yang sangat beliau sayangi untuk dikorbankan kepada-Nya.

This post was last modified on 19 Juli 2021 4:17 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

14 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

14 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

14 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

14 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago