Narasi

Bernegara Tanpa Dalil Agama

Banyak umat Islam menganggap bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan syariat Islam. Tidak hanya bertentangan, demokrasi juga dituduh sebagai sistem thaghut ciptaan manusia yang penuh hawa nafsu. Sementara Islam menghendaki agar segala seluk beluk kehidupan umat Islam termasuk sistem negara harus menyatu. Karena itu marak tawaran sistem politik Islam yang disebut sebagai khilafah. Konon, khilafah ini sebuah sistem negara yang paling benar karena diatur langsung oleh Allah melalui al Qur’an dan hadits. Begitukah?

Al Qur’an dan Hadits merupakan kitab suci yang harus dihormati dan diyakini kebenarannya. Umat Islam pasti mempercayai itu. Namun menjadikan al Qur’an dan hadist sebagai sistem negara tentu memiliki masalah sendiri. Pertama, sakralitas al Qur’an dan hadits. Tak dapat dipungkiri bahwa bagi umat Islam keberadaan al Qur’an dan hadits merupakan kitab sakral yang tidak bisa dilecehkan. Dalam soal politik yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan, penggunaan al Qur’an dan hadits sebagai dasar negara justru menghilangkan sakralitas kedua kitab suci itu. Al Qur’an dan hadits bisa dijadikan dasar untuk berbuat kesalahan. Bisa jadi, banyak orang melindungi kejahatannya memakai ayat-ayat al Qur’an dan hadits. Akibatnya, kesucian al Qur’an pun tercederai atau bahkan sirna. Umat Islam tentu tidak halal jika sakralitas al Qur’an.

Kedua, multitafsir. Al Qur’an dan hadits adalah kitab terbuka bagi penafsiran. Tidak ada kata tunggal dalam memahami dan memaknai al Qur’an. Lebih-lebih ketika dihadapkan kepada ayat-ayat mutasyabih atau ayat musytarak yang memungkinkan dimaknai dari berbagai aspek. Al Ashfahani, misalnya, dalam “al Mufradat fi Gharib al Qur’an” menuturkan betapa peliknya memahami ayat-ayat al Qur’an. Sehingga tidak mungkin hanya ada satu tafsir.

Sementara negara sebagai wadah untuk hidup bersama membutuhkan satu kepastian sikap dan hukum yang menutup segala kemungkinan tafsir. Jika kitab undang-undang hukum negara bagaikan al Qur’an yang bisa ditasfiri dengan berbagai bentuk tentu akan menciptakan kekacauan. Setiap orang akan bebas memakai untuk kepentingannya sendiri. Jangankan al Qur’an, kitab-kitab fiqh pun yang berbicara tentang hukum-hukum Islam tidak satu macam. Lalu hukum yang mana yang akan diterapkan, akan membutuhkan banyak energi dan percekcokan yang panjang.

Dan ketiga adalah al Qur’an tidak secara terperinci membahas kehidupan. Hal ini disebabkan karena al Qur’an dan hadits hanya merespon apa yang terjadi pada ssaat itu. Sementara banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh al Qur’an dan hadits secara detail sehingga membutuhkan pemikiran yang serius di luar teks-teks al Qur’an dan hadits. Lalu bagaimana menempatkan al Qur’an dan hadits dalam konteks berpolitik islami jika tidak ada dalil agama sama sekali (al siyasah al syar’iyyahmala nashsha fihi)

Ibn al Qayyim dalam “al Thuruq al Hukmiyyah” menjawab persoalan ini. Ibn al Qayyim mengatakan “annal ‘adl huwa maqshud al syari’ min al syari’ah, fahaitsuma asfara wajhul haqqi biayyi thariq kana, fatsamma syar’ullah wa dinuhu.” Bahwa keadilan adalah kunci pokok dalam tujuan syariah dari Allah. Dimana pun ada keadilan maka disana ada syariah Allah dan agamaNya; Islam. Hal ini karena keadilan merupakan dasar dari penciptaan langit dan bumi.

Lebih spesifik Ibn Uqail sebagaimana dikutip oleh Ibn Taimyyah dalam “al Siyasah al Syar’iyyah fi Ishlah al Ra’ie wal Ra’iyyah” mengatakan bahwa kebijakan negara merupakan sebuah sikap dan keputusan yang lebih mengarah kepada kedamaian umat dan menghindari kerusakan walaupun tidak ditetapkan oleh Nabi dan tidak ada wahyu al Qur’an yang menunjukkan kebijakan tersebut. Ma kana fi’lan yakunu ma’ahu al nas aqrab ila al shalah wa ab’ad ila al fasad, wain lam yadha’hu al rasul wala nazala bihi wahyun.

Dari sini terang benderang bahwa sistem bernegara tidak mewajibkan mengikuti satu sistem agama. Tapi lebih kepada kebijakan yang mengutamakan kemashalahatan umat dan menghindari kerusakan di muka bumi ini. Maka upaya mengusung sistem khilafah sebagai amanat agama bisa ditolak. Islam tidak mengajarkan agar agama dijadikan dasar negara melainkan harus dijadikan spirit dalam bernegara dan berpolitik. Sebaliknya keputusan-keputusan itu ditata dan ditentukan bersama secara adil tanpa diskriminasi.Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

16 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

19 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

19 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

2 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

2 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

2 hari ago