Esensi berpuasa adalah menahan diri dari hawa nafsu yang dapat berdampak buruk baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Puasa mendidik umat Islam menjadi pribadi penebar rahmat yang memberikan dampak citra Islam yang santun, cinta kasih dan perdamaian. Munculnya islamofobia tidak bisa dilepaskan dari stereotip ‘Islam agama kekerasan’ yang dipraktekkan oleh oknum umat Islam dalam membajak ajaran-ajaran Islam. Citra Islam yang rahmat telah disesatkan oleh para pelaku teror terutama pasca 9/11 dan dijustifikasi dan diproyeksi secara global oleh media Barat.
Untuk membedah tema tersebut, redaktur Pusat Media Damai (PMD) mewawancarai Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta
Serta Pembina Yayasan Raudhatul Mustariyah Direktur Zakat dan Wakaf Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta
Reza: Bagaimana esensi puasa dapat mendidik umat Islam menjadi pribadi penebar rahmat dan perdamaian?
Dr. Syarif Hidayatullah: Jadi salah satu nama bulan Ramadan itu adalah Syahru Rahmat, bulannya Rahmat, bulannya kasih sayang.
Yang dilatihkan sebetulnya di bulan Ramadan itu di antaranya adalah sikap kasih sayang. Dalam bentuk sikap kasih sayang ini nanti kita dilatih untuk bersabar, mendamaikan, merukunkan, mengasihi. Itu yang dilatih dalam bulan Ramadan. Jadi ketika ada orang yang berpuasa tapi tidak mempunyai sifat kasih, tidak menebarkan kedamaian, sebetulnya dia gagal memahami esensi puasa.
Dalam salah satu hadis nabi itu disebutkan bahwa kalau ada orang yang memprovokasi kepada seorang yang berpuasa, dan lain sebagainya yang sifatnya negatif kepada orang yang berpuasa, maka orang yang berpuasa itu diperintahkan untuk mengatakan saya sedang berpuasa. Bukan membalasnya tapi malah saya sedang berpuasa.
Maknanya apa yang disampaikan oleh nabi ini, maknanya dari hadis ini bahwa orang yang berpuasa itu justru menghindar dari provokasi-provokasi, menghindar dari apa lagi, menebar permusuhan, menebar konflik, menebar hal-hal yang negatif, itu pertentangan dengan esensi dari puasa itu sendiri. Jadi kalau orang yang memahami esensi puasa pasti dia akan jadi pribadi yang ramah, rahmat, senantiasa merukunkan, mendamaikan, dan dia mencintai kedamaian. Itu jawaban yang pertama.
Reza: Islamofobia adalah fenomena yang disebabkan oleh tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ibadah puasa dapat berkontribusi mereduksi maraknya islamofobia yang terjadi?
Dr. Syarif Hidayatullah: Islamofobia ini harus dilihat dari dua sisi, tidak bisa dilihat dari satu sisi. Betul memang Islamofobia itu mulanya dipicu oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Tapi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini kan faktanya tidak disetujui oleh mayoritas umat Islam.
Maka kebencian terhadap Islam atau Islamofobia itu tidak hanya terkait dengan kekerasan atas nama agama, atas nama Islam yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, tapi juga ada peran media yang melakukan propaganda. Jadi propaganda yang dilakukan oleh media-media tertentu karena punya agenda setting misalkan, ya ini juga perlu menjadi perhatian juga sehingga disinformasi tentang Islam itu juga tidak salah, disinformasi tentang Islam itu tidak terjadi.
Jadi ini harus dilihat dari dua sudut pandang. Maka apa yang harus dilakukan pertama, ya harusnya media juga fair, kecuali memang media itu punya agenda tertentu, agenda setting tertentu terkait dengan bagaimana mendiskreditkan Islam dan lain sebagainya. Yang kedua, ya umat Islamnya sendiri, mari bahu-membahu untuk meredam atau mengedukasi masing-masing umat Islam untuk mempunyai paham yang tidak memonopoli kebenaran, lalu kemudian melakukan kekerasan dengan membawa-bawa nama Islam padahal itu untuk kepentingan politik atau kepentingan segelintir orang terkait ekonomi dan lain sebagainya.
Jadi ini yang juga perlu kita sebagai umat Islam mempunyai semangat yang sama bahwa kekerasan dengan cara apapun tidak boleh dan tidak dibenarkan membawa-bawa nama Islam. Karena sejatinya ajaran Islam sendiri itu kan tidak mendukung, tidak membenarkan tindakan kekerasan dan perlu juga diberi informasi soal bahwa ada ajaran jihad, misalkan ajaran jihad itu juga tidak seperti yang difahami di media barat misalkan, yang seolah-olah negatif pandangannya.
Padahal jihad itu kan ada syarat dan ketentuannya yang tidak sederhana dan kecenderungannya bukan menyerang tetapi merespon atas serangan. Dan keputusan berjihad itu diputuskan oleh fatwa para ulama. Itu artinya tidak sembarangan. Tidak bisa individu-individu itu kemudian melakukan kekerasan lalu kemudian mengklaim itu sebagai jihad. Itu juga pelanggaran terhadap makna jihad atau esensi jihad itu sendiri. Maka soal Islamofobia ini pertama, selain yang tadi disampaikan, yang juga tidak kalah penting dan mendasarnya adalah bahwa umat Islam sendiri penting juga untuk diberi pemahaman lebih jernih, lebih utuh tentang ajaran Islam yang sesungguhnya dari ulama-ulama.
Yang memang selama ini diketahui keilmuannya, kedalaman ilmunya, dan menjadi sumber kedamaian di tengah tanah masyarakat. Kalau salah, yang dijadikan panutan memang akan juga bermasalah cara memahami Islam. Maka perlu juga mencari guru, mencari panutan, mencari tokoh yang dijadikan influence dalam kehidupan sehari-hari adalah tokoh-tokoh yang memang memberikan kedamaian. Sehingga citra negatif tentang Islam itu tidak seperti yang digambarkan oleh media barat terutama.
Katakan media Barat menyampaikan propaganda apapun, media tertentu menyampaikan propaganda apapun tentang Islam dalam konteks Islamofobia, tidak akan mempan juga kalau umat Islamnya sendiri tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Islam.
Dengan melakukan tindakan kekerasan ini dengan membawa-bawa nama agama. Intinya pentingnya ilmu, pentingnya wawasan, pentingnya tokoh yang menjadi panutan, guru yang menjadi panutan dalam melakukan apapun, mengamalkan apapun dari ajaran Islam ini, khususnya yang berkaitan dengan orang lain. Dan artinya ini habluminannas tidak, perhubungan habluminallah saja, habluminannas khusus kepada orang yang berbeda agama dengan kita sebagai muslim.
Reza: Bagaimana puasa dapat menghindarkan seorang muslim dari sikap merasa paling benar?
Dr. Syarif Hidayatullah: yang paling memungkinkan atau yang paling pasti dari seorang yang merasa paling benar itu adalah karena wawasan atau ilmunya masih terbatas. Satu, yang kedua, dia ini gurunya juga terbatas, dia membatasi dari guru yang lain. Yang ketiga, bacaannya juga terbatas.
Maka akibat dari ilmu yang terbatas, bacaan yang terbatas, guru yang terbatas, tidak memperbanyak guru, inilah yang membuat wawasannya menjadi sempit, kacamatanya menjadi kacamata kuda yang dipakai, sehingga semua orang yang berbeda itu dianggap sebagai salah. Padahal dalam Islam sendiri, wabil khusus di Al-Quran, itu redaksi yang dipakai oleh Allah, pakai istilah subul as-salam, subul itu bentuk jamak, bentuk plural dari sabil, sabil itu tunggal, jadi jalan as-salam kedamaian, jadi jalan kedamaian itu tidak tunggal, jalan kedamaian itu banyak, jalan Islam itu banyak.
Di hadis juga disebutkan sunanul huda, bukan sunatul huda. Sunan itu bentuk jamak dari suna, petunjuk. Sunah petunjuk yang diajarkan oleh nabi itu tidak tunggal, tapi banyak, maka kemudian tidak heran kalau kemudian mazhab dalam Islam, mazhab fiqih dalam Islam itu tidak tunggal banyak, yang diakui mayoritas mati Islam kan 4 mazhab, tapi di luar 4 mazhab itu banyak sekali. Tafsir juga, tafsir Al-Quran itu tidak tunggal, tafsir macem-macem, tafsir Ibnu Katsir, tafsir ar-Razi, tafsir Jalalain, tafsir at-Tobari, tafsir al-Qurtubi, dan yang lainnya.
Aliran teologi dalam Islam juga beragam, ada ash’ari, ada maturidi, dan lain sebagainya. Terus kemudian nanti aliran membaca Al-Quran, ada kiroa sabah, ada kiroa ash-aroh, dan lain sebagainya. Maka kalau ada orang yang kemudian memonopoli kebenaran, menganggap dirinya yang paling benar yang lain salah, itu sebetulnya melawan atau melanggar dari fitrah keberislaman yang memang beragam, yang memang tunggal.
Jadi disini pentingnya memahami bahwa untuk hal-hal yang sifatnya teologis itu yang usuluddin, yang prinsip, memang dalam Islam diajarkannya kita harus tegas, bahwa ini bagian dari doktrin agama yang mutlak sesuai pemahaman para ulama, tapi kalau yang furun uddin, yang bukan prinsip, tapi yang bagian-bagian yang ijtihad dari para ulama itu masih memungkinkan adanya perbedaan-perbedaan, dan itu yang terjadi sebetulnya. Menafsirkan Al-Quran, memahami Al-Quran juga tidak tunggal beragam cara menafsirkannya, cara memahaminya.
Ayat jihad juga begitu, sama sebagai contoh saja, ayat jihad dalam Al-Quran ditafsirkan dengan cara yang beragam. Nah, ada kaidah satu yang juga perlu difahami bahwa dalam bahasa Arab itu ada kaidah, seorang yang banyak ilmunya, semakin banyak ilmunya, semakin banyak wawasannya, itu dia semakin hati-hati, dia tidak gampang nyalahin orang lain.
Nah, itu maknanya ketika ada orang yang gampang merasa paling benar, gampang menyalahkan pihak lain, dan menganggap dirinya yang paling benar dan memonopoli kebenaran, merasa dirinya adalah kebenaran, ini adalah hal yang sebetulnya melanggar dari ajaran Islam.
Reza: Menurut Anda, apa saja langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh umat Islam dan masyarakat global untuk mewujudkan Islam Rahmatan Lil’alamin dan mereduksi islamofobia?
Dr. Syarif Hidayatullah: yang pertama tentu saja memahami intisari esensi ajaran Islam. Islam sebagai agama rahmat, Nabi Muhammad saja juga digelari sebagai Nabiyyurrahman, Nabi kasih sayang, dan diutus sebagai rahmatan lil alamin. Maka ketika memahami esensi dari ajaran Islam sebagai rahmat, tentu saja umat Islam ini harus mempunyai jiwa yang rahmat dalam hidup keseharian, melaksanakan tugas sebagai khalifah nya Allah di muka bumi.
Jadi dalam kontek itu pula sebetulnya jiwa rahmat ini, yang wujudnya bisa nanti dalam sikap merasa bersaudara dengan siapapun. Karena persaudaran itu sebetulnya tidak hanya terkait dengan ukhuwah Islamiyah, saudara sesama Muslim, tapi juga bisa ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama umat manusia. Sesama umat manusia dimanapun berada, selagi sama-sama manusia, itu atau ukhuwah basyariyah disebutnya, nama lainnya, itu harus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tidak pandang bulu agamanya apa, tidak pandang bulu rasnya apa, sukunya apa, dan seterusnya dia masih punya kewajiban, atau kita sebagai umat Islam berkewajiban meskipun tidak seagama, tetap kita merasa bersaudara, mengasihi, menyayangi, mempunyai sikap yang rahmat, mempunyai sikap yang ramah kepada sesama umat manusia. Selain Islamiyah dan insaniyah, ukhuwah yang lain adalah ukhuwah wathaniyah, ukhuwah atau persaudaraan sesama sebangsa.
Sesama sebangsa ini maknanya, meskipun tidak beragama, tapi masih satu bangsa, harus tetap kita saling ada tenggang rasa, tepo seliro, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dan lain sebagainya, karena ini adalah saudara kita. Jadi, kalau pun kita tidak bisa bersaudara karena sedara, kita bisa bersaudara karena satu agama. Kalau kita tidak bisa bersaudara sesama agama, kita bisa bersaudara sebagai sesama anak bangsa. Tapi kalau kita tidak bisa bersaudara sebagai sesama anak bangsa, kita bisa bersaudara sebagai sesama umat manusia.
Dengan cara pandang seperti ini, kita ini menganggap orang lain sebagai saudara, bukan sebagai musuh. Di wilayah aman kita tidak menganggap sebagai wilayah perang, sehingga tidak salah dalam merespon apapun yang terjadi di muka umum. Nah, ini dalam kontek umat Islam. Terus kemudian yang dalam kontek umat Islam yang terakhir juga, yang perlu dimiliki juga, sikap tafahum, saling memahami. Memahami posisi, memahami situasi, memahami kondisi, memahami konteks.
Bahkan ajaran agama masing-masing itu juga ada sikap saling memahami. Orang lain bicara dalam kontek agamanya, selagi tidak menyinggung menyalahkan, menyerang agama kita, kita tidak perlu merespon yang berlebihan, sehingga nanti memunculkan sikap permusuhan. Ada konflik, ada gap, ada hal-hal yang tidak menguntungkan dalam kontek kita bersaudara. Nah, dalam kontek masyarakat global, ini yang juga tidak kalah pentingnya. Ini kan yang lagi rame terkait dengan isu di India, Islamofobia di India.
Tapi India kan bukan satu-satunya. Beberapa negara di Eropa juga menunjukkan sikap Islamofobia yang terang-terangan. Maka dalam kontek ini, saya pribadi melihat memang ada pemain-pemain tertentu, global player, pemain di dunia global yang kemudian mereka ini memang memanfaatkan isu Islamofobia untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan beberapa yang saya baca itu ada kepentingan elektoral untuk kepentingan pemilu, meraup suara dari orang-orang yang konservatif dari agama lain.
Nah, yang sasaran paling empuk tentu saja agama Islam yang ada sekarang ini pertumbuhannya sangat besar, sangat cepat di beberapa wilayah, termasuk di Amerika dan Eropa. Nah, karena kemudian di sini semua harus menahan diri. Tidak hanya umat Islam yang diperintahkan atau diminta untuk menahan diri, diedukasi untuk memahami acara agamanya, terus kemudian kembali ke nilai-nilai agamanya, tapi juga biak-biak yang lain juga, termasuk global player ini, pemain di tingkat global ini yang nanti mereka punya agenda tertentu, kepentingan tertentu, yang lalu membuat propaganda-propaganda.
Nah, karena kemudian kita semua yang punya konsentrasi, konsentrasi terhadap perdamaian dunia, punya konsentrasi terhadap anti kekerasan, anti terorisme, ini perlu memahami hal ini, lalu kemudian memahamkan ke masyarakat, mengedukasi masyarakat, agar dunia kembali pada jalannya sesuai yang diperintahkan oleh Allah S.W.T., diperintahkan oleh Tuhan alam semesta agar ini diisi oleh orang-orang yang baik, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang mencintai kedamaian, orang-orang yang mencintai persaudaraan, bukan sebaliknya, yang suka permusuhan, yang suka peperangan, yang suka mengadu domba, membenturkan antara satu kekuatan dengan kekuatan yang lain.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…