Narasi

Bersuci dari Penyakit Hoax dan Radikalisme

Hoax dan radikalisme sebetulnya penyakit hati yang memengaruhi mental dan tindakan seseorang. Karena sangat tidak mungkin kiranya seseorang menyebarkan berita bohong yang merusak, menebar fitnah dan menimbulkan permusuhan. Jika bukan karena “geliat” diri untuk selalu terdorong menyebarkan keburukan tersebut. Begitu juga dengan para pelaku kekerasan, bom bunuh diri dan selalu menstimulasi permusuhan.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dalam bab (hati). Beliau selalu meniscayakan pentingnya (membersihkan hati). Kata bersihkan di sini bukan layaknya kotoran secara lahiriah seperti debu yang kita mudah membilas-nya dengan air. Tetapi, kalau kotoran hati (penyakit hati) sekalipun dibalas menggunakan lautan samudra pun hingga surut, niscaya tidak akan bisa membersihkan kotoran tersebut.

Beliau merekomendasikan adanya semacam penyucian secara ruhani. Hal yang semacam ini dapat dilakukan dengan riyadhah, amalan-amalan seperti istighfar, melaksanakan shalat, berdoa dan semua lelaku spiritual. Semata digunakan untuk menyucikan hati yang kotor. Karena sudah menjadi penyakit bagi perilaku dan cara berpikir kita.

Karena hati ibaratkan cermin. Bagaimana cermin jika jarang dibersihkan. Niscaya akan terus berdebu sampai buram dan tidak bisa digunakan dengan baik. Analogi ini memantik kita untuk menisbatkan keadaan hati yang akan berdebu, terus kotor dan mengalami infeksi. Jika tidak setia membersihkan secara spiritual. Sehingga mengakibatkan penyakit karena infeksi.

Dalam keadaan yang semacam ini kita menjadi lupa. Baik lupa diri, lupa rasa tanggung-jawab dan lupa terhadap orang lain. Lupa diri ini termasuk kondisi bagaimana seseorang tidak memikirkan kebaikan dirinya sendiri. Dia terus membiarkan dirinya mengalami keterpurukan dan dibiarkan rusak. Lupa terhadap rasa tanggung-jawab ini akan selalu meniscayakan perbuatan yang selalu merusak dan mudah menyebarkan sesuatu yang berdampak buruk bagi tatanan tanpa didasari oleh rasa tanggung-jawab. Begitu juga lupa terhadap orang lain. Dia akan melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain tanpa ada rasa penyesalan.

Karena orang yang selalu berada dalam perbuatan yang merusak, lupa diri dan tidak memiliki rasa tanggung-jawab. Jelas tidak adanya ikatan ruhani bersama-Nya. Lepasnya pengikat emosional dirinya secara entitas terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya yaitu Allah SWT sang pencipta. Bisa juga dia akan men-Tuhan-kan dirinya sendiri dan selalu merasa paling benar. Sekali-pun dirinya berbuat kerusakan dan menyebarkan kebencian.

Di sinilah pentingnya penyucian diri. Termasuk bersuci dari hoax dan radikalisme. Karena hoax adalah penyakit di dalam menjalani sosial yang tidak doyan persahabatan, perdamaian, kebersamaan dan ketenteraman. Karena dalam dirinya, selalu memiliki gejolak untuk berbuat kerusakan secara sosial dan menyebarkan informasi yang berdampak kepada permusuhan. Sehingga, dengan cara seperti inilah dia akan merasa puas setelah keburukan yang diperbuat.

Begitu juga dengan tindakan radikalisme. Ini adalah penyakit seseorang dalam beragama. Karena memaksakan kehendak, melegitimasi kebenaran agama-Nya dan memanfaatkan agama-Nya demi kepentingan politik. Melakukan tindakan kriminal layaknya kekerasan yang melanggar kemanusiaan. Semua tindakan yang semacam itu tidak lain merupakan penyakit hati yang harus segera diobati dengan makanan ruhani.

Karena bersuci dari hoax dan radikalisme ini bisa kita lakukan dengan konsisten mengkonsumsi makanan ruhani. Layaknya ibadah-ibadah seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa, riyadhah dan amalan-amalan yang bisa mendekatkan kita kepada sang pencipta alam semesta dan seisinya, yaitu Allah SWT. Dengan cara seperti inilah, hati, hawa nafsu dan pikiran kita terpelihara dari tindakan-tindakan yang menghancurkan diri, merusak lingkungan dan berbuat kezhaliman. Semangat Isra-Mikaj yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW menyisakan dua pesan penting. Pertama, bersuci secara ruhani. Kedua, menunaikan shalat wajib lima waktu. Bersuci secara ruhani seyogianya berkaitan dengan (penyakit hati dan hawa nafsu) untuk segera kita luntur-kan. Di  melalui amaliah spiritual.

This post was last modified on 9 Maret 2021 1:32 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

14 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

14 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

14 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

14 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago