Sebagai makhluk sosial, tentu kita tak bisa lepas dari interaksi dengan masyarakat. Semenjak lahir hingga kelak tutup usia, kita selalu bergantung dengan orang lain. Karenanya, interaksi sosial telah menjadi kebutuhan utama manusia, untuk bisa melangsungkan kehidupan.
Bukan manusia namanya jika dalam kehidupannya selalu sempurna, tak pernah berbuat kesalahan. Pun dalam konteks bermasyarakat, baik sengaja ataupun tidak, perkataan maupun perbuatan kita dapat menyinggung perasaan orang lain. Hal ini yang kemudian dapat berpengaruh pada hubungan dengan sesama; jika tidak bisa diselesaikan, berpotensi menimbulkan keretakan yang mengancam kedamaian hidup.
Perlu disadari pula bahwa ada kekuatan terselubung dalam diri orang yang telah disakiti. Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa orang-orang yang terdzalimi doanya makbul (QS. An-Nisa: 148). Di samping itu, orang yang disakiti atau didzalimi juga berpotensi memendam rasa sakit yang lalu bisa mengendap menjadi dendam kesumat. Ini berbahaya, karena orang yang mendendam, kerap berbuat nekat demi melampiaskan rasa kecewanya.
Agaknya menarik yang diwartakan BBC, berkaitan dengan balas dendam. Sebagaimana penelitian yang dilakukan David Chester dari Universitas Virginia Commonwealth, menemukan bahwa rasa sakit (emosional) bisa berpadu dengan kesenangan. Sehingga sebuah penolakan yang awalnya dirasa menyakitkan, dengan cepat bisa ditutupi dengan kesenangan dengan jalan diberi kesempatan untuk balas dendam. Proses ini melibatkan bagian dari otak yang dikenal dengan nucleus accumbens. (BBC, 18/05/17)
Lebih lanjut, Chester juga menemukan bahwa orang yang diprovokasi berperilaku dengan agresif itu dapat bermanfaat secara hedonis. Sehingga balas dendam menjadi sebuah aktivitas yang bisa menghadirkan kesenangan bagi pelakunya -meskipun sesaat.
Temuan Chester agaknya bisa menjadi ‘pisau bedah’ untuk mengalisis realitas sekitar kita. Adakah individu atau kelompok di sekitar kita yang tersakiti atau terdiskriminasi; bisa karena SARA maupun strata ekonomi. Atau bisa juga dijadikan bahan instropeksi diri; mungkinkah kita termasuk individu atau bagian dari kelompok yang terdiskriminasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting dilontarkan, untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi dalam diri dan juga masyarakat.
Jangan sampai kita melahirkan ‘pendendam’ (atau ‘lahir’ sebagai pendendam) yang akan mencari kesenangan dengan balas dendam yang merugikan orang banyak. Bukankah amat mungkin jika kasus-kasus kekerasan maupun teror yang terjadi di bangsa kita berawal dari rasa sakit hati yang tak terobati? Kelompok yang tidak puas dengan pemerintahan, lalu mengambil jalur pintas dengan membuat kekacauan berupa teror-teror menakutkan –misal bom bunuh diri. Mereka bahagia, sementara masyarakat terdampak teror sengsara; kehilangan rasa aman dan juga kerugian materi.
Baik itu konflik yang melibatkan pemerintah-warga negara, antar individu, maupun antar kelompok, mesti segera diselesaikan. Bukankah telah kita saksikan, betapa ketiadaan budaya saling memaafkan hanya menimbulkan kekacauan. Setiap orang atau kelompok mengklaim diri paling benar lalu menuntut kelompok lain untuk meminta maaf. Begitupun kelompok lain yang dimaksud; tidak merasa bersalah dan tak ada alasan untuk meminta maaf terlebih dulu.
Ali bin Abi Thalib pernah membicarakan soal budaya memafkan. Menurutnya, orang yang paling utama maafnya adalah orang yang mampu membalas. Artinya, dalam hal memberikan maaf, ada tingkatan-tingkatannya, dan yang paling tinggi adalah datang dari penguasa (atau yang memiliki kuasa membalas). Menjadi indikator kebesaran hati, jika penguasa –misal- mau meminta maaf kepada kelompok atau individu yang dirugikan, misalnya oleh kebijakan politiknya. Seperti yang diupayakan oleh korban 65 yang menghendaki rekonsiliasi dan juga keadilan.
Jika demikian, bolehkah kita memberikan pemaafan kepada pelaku teror yang telah banyak memakan korban? Atau mungkin koruptor yang dengan seenak perutnya memakan uang rakyat?
Agaknya –sekali lagi- kita perlu menyimak perkataan Ali bin Abi Thalib. Ia mengatakan bahwa maaf diberikan kepada orang yang mengakui kesalahan, bukan kepada orang yang terus menerus melakukan kesalahan. Artinya, bagi pelaku apapun yang melakukan kesalahan terlebih kejahatan, akan dimaafkan jika mau mengakui kesalahannya dengan tulus, lalu melakukan perbaikan diri. Namun, pemaafan tidak lantas menghapus kesalahan si pelaku. Justru sebaliknya, konsekuensi dari pemaafan adalah pelaku bertanggung jawab atas kejahatannya.
Budaya memaafkan yang telah menyusup sampai ke sendi-sendi kehidupan masyarakat, dengan sendirinya akan menghapus rasa dendam yang menggerogoti jiwa seseorang. Lalu, muncul dengan sendirinya, nuansa kedamaian yang mempu mencipta rasa aman dan nyaman.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments