Pustaka

Buku Radikalisme di Media Sosial: Mengungkap Ancaman Radikalisme dalam 280 Karakter di Media Sosial ‘X’

X, sebelumnya bernama Twitter, adalah ruang maya yang memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang dan ideologi untuk berinteraksi. Keleluasaan ini, sementara sangat positif dalam mempromosikan kebebasan berbicara. Sayangnya, kebebasan ini juga memberikan celah bagi radikalisme untuk berkembang. Orang-orang dengan pandangan radikal dapat memanfaatkan anonimitas dalam berbagi gagasan dan membentuk opini publik. Seiring dengan kemudahan berkomunikasi dan berbagi informasi, platform ini memberikan ruang bagi penganut ideologi radikal untuk meyakinkan pihak lain tentang pandangan mereka. Tagar, video, dan caption yang didesain dengan cerdik dapat menjadi instrumen efektif untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang.

Implikasi dan problematika tersebut menjadi kerangka buku Radikalisme di Media Sosial. Terlepas dari spektrum sosial-politik yang sedang terjadi, pengguna X dapat dengan mudah terjerumus dalam eco-chamber yang melahirkan self-radicalization. Bahkan, beberapa narasi ini tampak terlihat lebih netral, tetapi sebenarnya bertujuan untuk menggalang dukungan bagi agenda para kelompok-kelompok radikal. Buku ini hadir membongkar wacana-wacana radikalisme terebut. Penulis menggali berbagai aspek yang terkait dengan isu ini, termasuk faktor-faktor yang memicu radikalisme, dampaknya pada masyarakat, termasuk masa depan media digital sebagai ruang interaksi tempat semua narasi muncul.

Self-radicalization dapat memperdalam perpecahan sosial dan polarisasi dalam masyarakat. Pengguna yang terlibat dalam pandangan radikal cenderung kehilangan kemampuan untuk berdialog dan berkomunikasi dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Proses ini jika dikelola secara ideologis akan melahirkan individu yang menormalisasi kekerasan dan terorisme. Self-radicalization di kalangan generasi millennial dan gen-Z dapat mengubah arah masa depan mereka. Mereka yang terpapar oleh pandangan radikal di X mungkin terinspirasi untuk meninggalkan pendidikan, pekerjaan, atau keluarga mereka untuk bergabung dengan kelompok radikal. Self-radicalization di X adalah fenomena yang kompleks dan berpotensi berbahaya. Platform media sosial ini dapat menjadi sarana bagi individu untuk meradikalisasi diri mereka sendiri dengan cara yang sulit dideteksi oleh penegak hukum.

Buku ini mengilustrasikan X sebagai “garis start” di mana pandangan ekstrem dapat dengan cepat disebarkan ke ribuan pengguna dalam waktu singkat. Penulis menggambarkan bagaimana penggunaan fitur-fitur seperti retweet (kini repost) dan tagar memungkinkan pesan-pesan radikal untuk menyebar secara masif dan menciptakan efek domino dalam masyarakat.

Salah satu aspek yang diungkap dalam buku ini adalah bagaimana X memberikan wadah untuk diseminasi ideologi dan rekrutmen anggota baru bagi kelompok-kelompok radikal. Penulis juga mengulas cara algoritma platform dapat memperkuat echo chamber di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, yang pada gilirannya dapat memperdalam perpecahan. Penulis juga mengungkap bagaimana media sosial mengafirmasi bias, di mana individu cenderung mencari informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, sehingga dapat melihat pandangan lain sebagai ancaman yang harus dimusnahkan.

Selain itu, buku ini membahas konsekuensi radikalisme di media sosial, termasuk terorisme online, kekerasan yang dipicu oleh propaganda ekstremis, dan retorika yang membahayakan. Melalui buku ini, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas masalah radikalisme di media sosial, khususnya X, dan pentingnya kesadaran publik dalam menghadapinya. Buku ini mengajak pembaca untuk lebih kritis dan bijak dalam mengonsumsi informasi di era digital yang penuh dengan konten yang bisa meracuni pemikiran dan sikap.

Meski demikian, perang melawan radikalisme di media sosial bukanlah tugas yang mudah. Kebebasan berbicara adalah salah satu nilai mendasar dalam era demokratisasi media yang barangkali digunakan oleh kelompok radikal untuk melandasi aktifitas propagandanya. Mengambil tindakan terlalu tegas dalam menangani radikalisme dapat menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip tersebut. Langkah-langkah yang diambil oleh platform media sosial, seperti sensor dan penghapusan konten radikal, sering kali memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana intervensi yang boleh dilakukan untuk mengatur konten di media sosial.

Buku ini belum menyinggung secara eksplisit tentang bagaimana membangun keseimbangan antara melindungi kebebasan berbicara dan mengatasi ancaman radikalisme di era demokratisasi media. Padahal pembahasan itu penting untuk mengantisipasi pertanyaan tentang demokratisasi media yang “seharusnya” merangkul semua gagasan dalam jagad digital. Penulis sebenarnya telah menyinggungnya di dalam buku. Salah satu argumennya adalah bahwa tersebarnya paham radikalisme-fundamentalisme dikhawatirkan menyebabkan kualitas demokrasi merosot. Tetapi selanjutnya belum ditemukan penjelasan yang cukup tentang sifat media yang demokratis dan prinsip demokrasi itu sendiri.

Terlepas dari hal itu, Radikalisme di Media Sosial adalah bacaan yang relevan dan penting bagi siapa pun yang peduli dengan isu-isu kebangsaan dan perkembangan teknologi informasi di zaman modern. Teori rasionalitas komunikatif vis-à-vis rasionalitas instrumental milik Jürgen Habermas berhasil dibahasakan secara sederhana dan lugas sehingga sukses mengidentifikasi isu yang menjadi concern utama buku ini.

Buku Radikalisme di Media Sosial menjadi semacam alarm bagi warganet untuk tidak terlena dan larut terhadap berbagai lautan wacana yang terjadi di media sosial, khususnya di media X.Buku ini merupakan etalase mini yang menampilkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi narasi radikalisme di X, sekaligus sebagai ajakan untuk bersama-sama berperan aktif dalam menjaga stabilitas sosial dan keamanan di jagad digital.

This post was last modified on 24 Oktober 2023 12:59 PM

Haris Fatwa

Pegiat Kontra Narasi dan Moderasi Beragama

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

14 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

14 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

14 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

14 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago