Narasi

Dakwah Puritan; Syiar Islam yang Tidak Relevan dengan Konteks Keindonesiaan

Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam beberapa dekade terakhir di tengah masyarakat. Dakwah ini bertumpu pada upaya mengikis segala bentuk praktik keislaman yang dianggap menyimpang dari “kemurnian” ajaran Islam, yang sering diukur berdasarkan standar tekstual.

Pendekatan ini mengedepankan kritik tajam terhadap tradisi, budaya lokal, bahkan praktik keagamaan yang telah mengakar sejak lama dalam masyarakat. Alih-alih menjadi solusi atas tantangan dakwah di era modern, model dakwah puritan justru berpotensi menciptakan fragmentasi sosial dan kebangsaan kita. Dalam konteks Indonesia yang multikultural dan multireligius, pendekatan semacam ini tidak hanya tidak relevan, tapi juga kontraproduktif terhadap misi dakwah yang seharusnya menebar rahmat dan kedamaian.

Indonesia bukanlah tanah kosong yang kemudian dihuni Islam dalam bentuknya yang steril. Islam datang ke Nusantara dengan proses kultural panjang yang sarat dengan dialog dan akomodasi terhadap realitas lokal. Walisongo, para ulama awal penyebar Islam di Jawa, tidak serta-merta menolak seluruh tradisi masyarakat lokal, melainkan melahirkan bentuk dakwah yang inklusif dan akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal di Nusantara. Proses inilah yang membuat Islam bisa berkembang secara damai dan berakar kuat di Indonesia.

Namun, tren purifikasi muncul sebagai reaksi atas kekhawatiran akan dekadensi moral dan kemerosotan nilai-nilai Islam dalam kehidupan umat. Para pelakunya sering membawa semangat perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai “syirik”, “bid’ah”, atau “khurafat”. Dengan mengusung slogan kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah secara literal, mereka mendorong umat untuk meninggalkan berbagai amalan lokal yang sudah menjadi bagian dari ekspresi keagamaan masyarakat. Praktik tahlilan, peringatan Maulid Nabi, ziarah kubur, bahkan salam kebangsaan pun dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam..

Model dakwah puritan ini sering dibumbui dengan nuansa konflik, baik verbal maupun simbolik. Dakwah yang seharusnya menjadi sarana penyatuan umat justru dijadikan sebagai alat penilaian benar-salah, masuk-surga atau masuk-neraka. Yang berbeda pandangan tak jarang dilabeli sesat atau kafir. Dalam banyak kasus, pendekatan ini bahkan membelah masyarakat menjadi dua kutub: yang dianggap  “benar” dan yang dianggap menyimpang.

Padahal, Indonesia sebagai bangsa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan. Konstitusi kita menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus memayungi ragam ekspresi religius yang sah selama tidak melanggar hukum dan merusak ketertiban umum. Spirit ini sejatinya sejalan dengan maqashid syariah (tujuan syariat) dalam Islam, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dakwah yang menyasar pada pemurnian semata, tanpa mempertimbangkan konteks dan keberagaman, pada akhirnya akan bertabrakan dengan semangat toleransi dan hidup berdampingan yang menjadi nilai utama bangsa ini.

Lebih dari itu, model dakwah puritan juga berisiko melahirkan benih-benih radikalisme. Ketika semangat pemurnian agama dibarengi dengan pengingkaran terhadap otoritas negara dan sistem demokrasi, maka muncul kelompok-kelompok yang tidak hanya menolak budaya lokal, tetapi juga ideologi nasional. Dalam skala yang lebih ekstrem, hal ini bisa memicu lahirnya gerakan intoleran, bahkan aksi terorisme yang sangat berbahaya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita merefleksikan ulang arah dan strategi dakwah di Indonesia. Pendekatan purifikasi yang menihilkan konteks sosial, budaya, dan sejarah masyarakat Indonesia perlu ditinggalkan. Dakwah harus kembali menjadi jalan kasih sayang, bukan pemaksaan. Islam tidak seharusnya disebarkan dengan narasi ketakutan dan ancaman, melainkan dengan keteladanan dan kasih. Dakwah yang relevan dengan keindonesiaan adalah dakwah yang memahami watak bangsa dan mampu menghargai warisan budaya lokal.

Indonesia membutuhkan model dakwah yang kontekstual, moderat, dan inklusif. Dakwah yang tidak alergi terhadap tradisi, tetapi mampu merangkulnya sebagai sarana penyampaian nilai-nilai Islam. Dakwah yang tidak memaksakan keseragaman, tetapi menghormati perbedaan sebagai rahmat.

Helliyatul Hasanah

Recent Posts

Dakwah Bil Hikmah : Anjuran Al-Quran untuk Beradaptasi dengan Kearifan Lokal

Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…

2 menit ago

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

21 jam ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

21 jam ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

21 jam ago

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…

2 hari ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

2 hari ago