Keagamaan

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu dilakukan oleh para pedagang dari Gujarat dan para sufi dari Persia. Jejak sejarah para sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara itu dapat dilacak dari banyanya nisan kuno yang menunjukkan simbol-simbol sufisme. Mulai dari ornament, inskripsi, maupun bentuknya.

Misalnya, makam Islam kuno di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Barus diyakini sebagai pintu masuk pertama kali Islam ke Nusantara. Selain itu, masih banyak makam kuno lain yang kental ornamen sufistik. Itu menandakan jejak-jejak awal para sufi di Nusantara. Boleh jadi, mereka memang bukan pembawa pertama kali Islam di Nusantara. Namun, mereka jelas berkontribusi dalam penyebaran Islam periode awal. Dalam ilmu sejarah pun, istilah kedatangan dan penyebaran memiliki perbedaan.

Jejak para sufi di Nusantara juga dapat dilihat dari corak keislaman yang berkembang hingga saat ini. Nyaris mustahil memisahkan aspek tasawuf dari kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Lantaran ajaran tasawuf sudah kadung mengurat mengakar di tengah umat. Salah satu ciri dakwah model sufistik adalah melalui pendekatan kultural dan lebih berorientasi pada aspek esoterik, ketimbang dimensi eksoterik.

Aspek esoterik adalah hakikat terdalam agama seperti ajaran tentang tauhid, kasih-sayang, welas-asih, dan sebagainya. Sedangkan aspek eskoterik adalah dimensi simbolik agama seperti pakaian, dan simbol lainnya. Dakwah para sufi di Nusantara kental dengan nuansa kultural. Mereka tidak anti pada budaya lokal, alih-alih mengadaptasinya untuk menarik simpati masyarakat.

Maka, musik, tembang, dan wayang menjadi produk kebudayaan yang hadir dalam agenda dakwah Islam di Nusantara periode awal. Kaum sufi benar-benar melakukan islamisasi, bukan arabisasi. Islamisasi dalam artian mengislamkan Nusantara, baik itu manusianya maupun budayanya. Budaya asli Nusantara tidak serta-merta dihapus, melaikan dimodifikasi dan ditambahi unsur Islam.

Menjadi tidak mengherankan jika di Nusantara, orang Jawa tetap bisa memeluk Islam tanpa meninggalkan identitas kulturalnya. Lahirlah istilah Islam Jawa yang menggambarkan akulturasi dua entitas budaya dan agama. Islam Jawa bukan agama atau aliran baru, melainkan bentuk ekspresi keislaman dalam bingkai sosio-kultural Jawa.

Pendekatan kultural yang dipakai oleh para sufi ini belakangan mulai tergerus oleh infiltrasi dakwah transnasional yang cenderung politis dan ideologis. Dakwah yang orientasinya bukan sekadar mengajak umat menjadi lebih baik dalam berislam. Namun, lebih berorientasi untuk mengajak umat pada gerakan politis dan ideologis. Seperti tuntutan memformalisasikan syariah, agenda mendirikan daulah islamiyyah, bahkan seruan mendirikan khilafah.

Model dakwah yang seperti ini cenderug lebih berorientasi pada dimensi eksoterik. Yakni lebih fokus pada hal-hal simbolik seperti pakaian muslim, jilbab, perbankan syariah, penerapan hukum Islam dan sebagainya. Pada akhirnya, model dakwah transnasional kerap terjebak pada pemahaman agama yang dangkal. Islam diaggap jaya dan maju jika jumlah pengikutnya bertambah banyak, meski pun tidak berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusianya.

Dakwah transnasional adalah bagian dari gelombang penyebaran ideologi transnasional. Bisa dikatakan dakwah transnasional ini satu paket dengan penyebaran ideologi transnasional. Maka, membincangkan gerakan seperti Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahir dan organisasi transnasional lainnya tentu tidak dapat dipisahkan dari para pendakwah transnasional yang ikut membonceng di belakangnya.

Di tengah gelombang ideologi transnasionalisme yang kian tidak terbendung ini, menghidupkan kembali model dakwah sufistik yang berorientasi pada esoterisme Islam kiranya urgen dan relevan. Gerakan dakwah transnasional telah terjebak pada oversimplifikasi dengan menganggap bahwa tujuan Islam adalah mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara, termasuk pemaksaan atau penghinaan terhadap agama lain.

Dalam perspektif para sufi, dakwah adalah sebuah agenda kemanusiaan, bukan semata misi keagamaan. Maka, sebelum mengenalkan Islam, para sufi terlebih dahulu mengajarkan cara hidup bersih, termasuk mengajarkan mandi, mencuci tangan sebelum makan, memisahkan hewan ternak dari rumah utama, dan sebagainya. Tidak hanya itu, para sufi juga mengajari cara bertani yang benar, berdagang dengan jujur, dan berrelasi dengan masyarakat secara harmonis.

Baru setelahnya, para sufi itu menjelaskan bahwa semua itu adalah ajaran Islam. Masyarakat Nusantara yang sudah terkesan pun dengan sukarela memeluk Islam tanpa paksaan. Pendekatan ini berbeda dengan model dakwah transnasional yang mengedepankan logika penghakiman. Yakni menghakimi keyakinan agama lain salah, menuding kearifan lokal bid’ah dan mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang akan menyelamatkan umat manusia.

Di tengah Indonesia yang majemuk secara agama dan budaya, model dakwah sufistik yang fokus pada dimensi esoteris cenderung lebih relevan ketimbang dakwah transnasional yang simbolik dan beorientasi pada aspek eksoterik.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

50 menit ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

52 menit ago

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…

23 jam ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

1 hari ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

1 hari ago

Reorientasi Dakwah; Dari Konversi Iman ke Harmoni Keagamaan

Bagi sebagian kalangan muslim, keberhasilan dakwah itu dinilai jika mampu menarik umat agama lain untuk…

1 hari ago