Kebangsaan

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan pelajaran mendalam tentang bagaimana tradisi lokal bisa menembus batas geografis dan budaya. Salah satu momen yang menjadi pusat perhatian dunia maya adalah gaya unik “anak coki”—penarik jalur kecil di ujung perahu—yang menari dengan energik dan penuh semangat. Gerakannya yang spontan, lucu, dan menyatu dengan semangat tim, viral dan ditiru oleh pesohor, selebritas, bahkan tokoh internasional.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa budaya adalah bahasa universal. Ia menyentuh siapa saja, lintas bahasa, suku, bahkan agama. Lewat medium gerakan, ritme, dan keceriaan, Pacu Jalur mampu menjadi konten viral yang membanggakan, sekaligus menghidupkan kembali minat masyarakat—terutama anak muda—pada tradisi lokal. Di balik viralitas itu, ada satu pelajaran penting yang bisa kita tarik dalam konteks dakwah agama: bahwa budaya adalah media dakwah yang sangat strategis dan efektif jika dikemas secara kreatif.

Antropolog Clifford Geertz menyatakan bahwa budaya bukan sekadar tradisi, tetapi adalah sistem makna. Dalam konteks Pacu Jalur, sistem makna itu mencakup semangat kebersamaan, ketekunan, dan ekspresi kolektif masyarakat Melayu di Riau. Ketika hal ini ditampilkan secara otentik dan dikemas secara kreatif, ia menjadi menarik secara global. Maka, budaya lokal sesungguhnya memiliki potensi global, asalkan diolah dan dikomunikasikan dengan tepat.

Kaitannya dengan dakwah, kita bisa belajar dari pendekatan para Wali Songo, yang tidak sekadar menyebarkan Islam secara doktrinal, tetapi justru memanfaatkan budaya sebagai medium penyemaian nilai-nilai keislaman. Misalnya, Sunan Kalijaga menggunakan wayang dan tembang Jawa, Sunan Bonang menggunakan gamelan, dan tradisi-tradisi lokal lainnya diolah menjadi wadah syiar Islam. Alhasil, Islam tidak dipaksakan masuk ke masyarakat, melainkan tumbuh dari dalam kesadaran dan gaya hidup masyarakat itu sendiri.

Dakwah Bukan Penghapusan Budaya, Melainkan Pembinaan Makna

Dalam pendekatan antropologi agama, agama dan budaya tidak harus bertentangan. Dalam banyak kajian seperti yang disampaikan oleh Talal Asad, budaya adalah medium di mana agama diwujudkan dalam praktik keseharian. Artinya, budaya bukan kompetitor agama, melainkan kontainer ekspresi keagamaan.

Mereka yang memahami dakwah sebagai “pemurnian” total tanpa konteks budaya sering gagal memahami cara kerja agama dalam masyarakat. Justru ketika agama hadir dan berbaur dalam budaya, ajaran-ajaran spiritual menjadi lebih membumi dan dapat diterima luas. Inilah pendekatan inklusif dan kontekstual yang sangat dibutuhkan saat ini.

Kita tidak bisa memaksakan bentuk dakwah yang kaku, formalistik, dan seragam. Masyarakat kini lebih tertarik pada dakwah yang ringan, membumi, dan menyentuh sisi emosional dan sosial mereka. Di sinilah perlu kreativitas dalam menjadikan budaya sebagai sarana dakwah.

Sebagaimana anak-anak muda dengan bangga menari mengikuti gaya “anak coki”, dakwah pun bisa menjadi tren dan gaya hidup jika dibalut dengan kekuatan budaya lokal. Bayangkan bila nilai-nilai Islam tentang kasih sayang, tanggung jawab sosial, kerja sama, dan disiplin ditampilkan lewat film pendek berbahasa daerah, tarian kontemporer Islami, atau festival budaya yang mengedepankan nilai-nilai akhlak. Maka pesan agama akan lebih mudah diterima, bahkan oleh mereka yang awalnya tidak akrab dengan simbol keagamaan.

Pendekatan ini sejalan dengan semangat rahmatan lil ‘alamin—Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Artinya, dakwah tidak harus keras, apalagi memaksa. Ia bisa lembut, menyenangkan, dan menginspirasi. Dalam kerangka itu, dakwah bukan hanya mimbar dan ceramah, tetapi juga koreografi budaya, musik tradisi, karya seni, bahkan ekspresi digital seperti konten TikTok, Reels Instagram, dan YouTube.

Festival Pacu Jalur dan viralitas gaya anak coki menunjukkan bahwa budaya lokal bisa menjadi panggung dakwah yang menarik dan diterima luas. Kita hanya perlu menggali potensi-potensi lokal itu dan mengemasnya dengan pendekatan yang kekinian tanpa meninggalkan nilai dasarnya.

Dakwah ke depan membutuhkan tiga hal: pemahaman kontekstual, apresiasi terhadap budaya lokal, dan kreativitas dalam penyampaian pesan. Tanpa itu, dakwah akan kehilangan daya tariknya dan tidak mampu bersaing di tengah arus informasi dan hiburan yang semakin kompleks.

Belajar dari viral Pacu Jalur, agama dan budaya bukan dua kutub yang harus dipertentangkan, melainkan dua kekuatan yang bisa saling menguatkan. Bila diramu dengan baik, dakwah bisa menjadi viral—bukan karena kontroversinya, tapi karena inspirasinya. Maka mari menjadikan budaya sebagai jalan sunyi yang subur untuk menyemaikan benih-benih kebaikan dalam masyarakat.

This post was last modified on 17 Juli 2025 7:13 AM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

13 menit ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

14 menit ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

15 menit ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

24 jam ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

1 hari ago

Reorientasi Dakwah; Dari Konversi Iman ke Harmoni Keagamaan

Bagi sebagian kalangan muslim, keberhasilan dakwah itu dinilai jika mampu menarik umat agama lain untuk…

1 hari ago